Webinar Tanggap Rasa dalam Pena Aksara: Budaya Literasi Sastra dan HAM Masa Kini
Rabu, 22 Juli 2020
Add Comment
Hari ini saya mewakili KPKers (Komunitas Penulis Kreatif) Lampung untuk berpartisipasi dalam acara "Diskusi Tanggap Rasa Seri 3" yang diadakan oleh Komnas HAM RI.
Berikut adalah beberapa materi yang bisa saya rangkum dan juga tanggapan mengenai topik yang dibahas.
"Sastra sering kali menjadi korban yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan sastra itu sendiri," ucap Seno Gumira (sastrawan).
Dalam dunia sastra, kita memang sering kali serba salah. Apalagi dihadapan masyarakat atau pemerintahan yang (mungkin) belum bisa menerima apa yang kita tuliskan meskipun bahasa tulisannya halus. Dan seperti yang Pak Seno katakan tadi di zoom, bahwa buku-buku dibakar sebelum dibaca.
Ini adalah tindakan yang seharusnya tidak terjadi. Bukankah ketika ingin tahu suatu kebenaran, kita perlu tahu detail permasalahan yang terjadi? Diskusi tentang "Tanggap Rasa dalam Pena Aksara : Budaya Literasi Sastra dan HAM Masa Kini" yang dilaksanakan Rabu (22 Juli 2020) pukul 13.00 - 15.00 WIB, benar-benar membuka wawasan dan bahan evaluasi bersama. Apalagi tentang perundang-undangan yang terus ditambah atau direvisi.
Okky Madasari (novelis) pun memaparkan pandangan HAM terhadap sastra.
Ketika kita harus bicara bagaimana nilai-nilai sastra bisa diterima masyarakat, ternyata itu tidaklah mudah. Karena salah satu masalah (problem) terbesar yang kita hadapi saat ini adalah kebebasan untuk menulis. Seharusnya tidak ada yang boleh ikut campur bagaimana seseorang harus berimaji. Tetapi di Indonesia ini ternyata tidaklah mudah untuk mendapatkan kebebasan seperti itu.
Tentang sebuah kebebasan, terus terang, saya juga sebagai penulis merasa ruang gerak untuk berekspresi dibatasi. Benar apa kata narasumber-narasumber pada acara webinar kali ini, bahwasannya ketika kita bicara tentang seksualitas; apalagi sastra yang digambarkan dengan seksualitas, orang lain pasti tidak sedikit yang akan menentang hal ini. Iya, seperti yang Pak Seno katakan, bahwa kreativitas adalah senjata untuk kita bekerja, tetapi tidak bebas. Dan saya pun sependapat dengan itu.
Ketika kebenaran dibungkam, lalu ke mana lagi kita harus mencari keadilan di dunia ini selain berusaha untuk tidak seperti mereka. Bahkan, politik pun diperjual-belikan (koreksi jika salah). Ketika kita bicara benar, pastilah banyak yang akan menuding dan mengeluarkan pasal UU ITE jika bicara di medsos. Entahlah! Sering buat ngelus dada dengan kebohongan yang mengalahkan kebenaran.
Seno dengan lantang mengatakan, "Ketika hukum tidak berdaya atau tidak bisa mengadili, maka sastralah yang harus bicara."
Untuk karya sastra itu sendiri, cakupannya luas dan bukan lagi soal literasi yang secara global. Menurut narasumber yang bernama Maria Bo Niok (Penulis, Penggiat Literasi), bahwa karya sastra adalah kritik sosial, yang mana kita bahas kali ini tentang gadget. Bagaimana gadget adalah sarana yang bermanfaat bagi mereka? Bagaimana cara kita mendekatkan mereka dengan teknologi yang semakin berkembang di era globalisasi ini. Beri mereka kesempatan untuk tahu tentang gadget, tapi dengan cara yang tepat.
Pernyataan dan penjelasan yang paling mengesankan dari Munafrizal Manan (Wakil Ketua KOMNAS HAM RI saat ini - 2022) tentang bagaimana sastra harus dibebaskan.
Secara normatif kondisi HAM di Indonesia saat ini memang cukup banyak kemajuan, karena UUD negara RI Tahun 1945 pasca amandemen telah mencantumkan satu bab khusus tentang HAM (Bab XA) dan sejumlah instrumen HAM internasional telah diratifikasi oleh Indonesia.
Selain itu, Indonesia memiliki tiga lembaga HAM nasional, yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI. Namun secara empirik, kondisi HAM Indonesia masih cukup banyak problem. Sebanyak 12 hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus pelanggaran HAM berat belum ditindaklanjuti oleh pemerintah (Kejaksaaan Agung). Kebebasan sipil pun masih mengalami hambatan, misalnya kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul.
Fungsi Sastra bagi HAM itu sendiri, adalah mengenai banyaknya karya sastra bertutur tentang kehidupan manusia dan ada banyak pula karya sastra yang secara khusus menyoroti tentang harkat dan martabat manusia. Maka sesungguhnya sastra sangat dekat dengan aspek kemanusiaan.
Lalu, apa harapan pada Sastra?
Pasal 100 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang mengatur hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM. Sastrawan sebagai bagian dari masyarakat punya peran strategis untuk berpartisipasi menggaungkan nilai-nilai HAM. Maka, diharapkan akan semarak publikasi karya sastra Indonesia yang mengusung isu dan nilai HAM.
Salam hormat untuk semuanya. Dan terima kasih kepada keempat narasumber beserta panitia penyelenggara. Ditunggu info webinar selanjutnya ataupun adanya pertemuan antara penulis buku dan jurnalis dengan Komnas HAM RI.
Lampung, 22 Juli 2020
Irma Dewi Meilinda
(Ketua KPKers Lampung)
0 Response to "Webinar Tanggap Rasa dalam Pena Aksara: Budaya Literasi Sastra dan HAM Masa Kini"
Posting Komentar