Diary Dua Musim: Kaca yang Mudah Retak
Berulang kali mendapat kecewa, Gea
merasa lelah karena terlalu sabar. Ucapannya selalu diabaikan, tidak pernah
menjaga perasaan. Di persimpangan jalan, Gea bertemu dengan sosok laki-laki
yang sedari tadi namanya berkeliaran di dalam pikirannya.
"Gea, kamu
kenapa?"
Tidak ada
tanggapan dari Gea. Tiba-tiba air matanya menetes. Diluapkan semua rasa kecewa
yang tengah dihadapi. Laki-laki yang memang jarak usianya tak jauh beda dengan
Gea itu berusaha menenangkan, menghapus kesedihan. Yah, untuk saat ini
laki-laki tersebut menjadi pelipur lara Gea.
Tapi seiring
berjalannya waktu, sosok laki-laki yang dianggap sebagai pahlawan karena telah
menyelamatkannya dari rasa sakit hati yang tiada berkesudahan, justru lebih
membuatnya mati rasa. Menabur garam pada luka. Pedih! Entah apa yang harus
dilakukan.
Hingga pada
akhirnya, kesabaran Gea habis. Hati memberontak. Pikiran yang tadinya selalu
berpikir positif pun menjadi lebih waspada. Kebohongan yang kerap didapatkan
membuat Gea tak lagi percaya dengan orang lain.
Gea adalah sosok
perempuan penyabar. Meski banyak orang yang menyakiti, dia tidak bisa membenci
apalagi harus bermusuhan. Itu sebabnya dia selalu memaafkan kesalahan siapapun
orang yang menciptakan air mata luka di dalam hidupnya.
Sampai pada suatu hari, laki-laki itu datang menghampiri, seakan tidak terjadi masalah apa pun di antara mereka. Hati Gea sudah membatu. Tak lagi memiliki rasa kepercayaan pada laki-laki tersebut; Haris. Gea yang tadinya mempercayai Haris sepenuhnya, kini rasa itu sudah hilang.
“Kepercayaan yang telah dihancurkan ibarat cermin.
Maka jagalah cermin itu agar tidak retak apalagi sampai hancur.”
"Haris, aku
lelah ...," ucap Gea dengan lirih.
"Lelah
kenapa?" tanya Haris sembari menatap mata Gea yang mulai berkaca-kaca. Air
mata yang sengaja ditahan agar tidak tumpah.
"Kapan kamu
berhenti memberikan kepedihan padaku?" tanya Gea, menunduk. Dia masih
menahan berlian agar tidak jatuh.
Haris merangkul
Gea dan mencium keningnya lalu berkata, "Bagaimana bisa aku memberi
kepedihan dalam hidup-mu, sedangkan lukamu adalah lukaku?"
Gea mengembuskan
napas beratnya. Masih mencoba menahan berlian yang sedari tadi ingin
menjatuhkan diri.
"Kamu kenapa
Gea?" Haris masih bersikap seakan tidak melakukan kesalahan apa pun.
Sedangkan Gea, masih menunduk. Hingga pada akhirnya, berlian jatuh. Isak tangis
tak bisa dihentikan meski Haris berusaha menenangkan.
"Aku lelah
...," lirih Gea dengan isak tangis yang se-makin menjadi.
Haris menatap Gea
dengan penuh kecemasan. Tubuh Gea menjadi kaku, dingin dan berubah warna
seperti mayat. Haris tetiba menjerit karena takut terjadi sesuatu pada Gea.
Kemudian Gea kehilangan kesadaran dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.
***
Sudah satu minggu
Gea masih saja di ruang ICU, keadaannya semakin kritis. Semua keluarga dan
teman-teman termasuk Haris, terus berdoa untuk Gea yang masih koma. Dokter melakukan
berbagai cara untuk bisa membuat perempuan penyuka warna biru ini sadarkan
diri. Namun, hasilnya masih nihil. Harapan seakan pupus di saat napas Gea tak
beraturan.
Seperti yang
dilansir dalam situs www.halosehat.com, ICU (Intensive Care Unit) adalah perawatan di rumah sakit yang
dikhususkan untuk pasien dewasa dengan kondisi yang mengancam jiwa. Sebagian
besar prosedur yang dilakukan di ruang perawatan ICU ditujukan untuk
menyelamatkan pasien dari cacat permanen yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi
bagaimana mereka menjalani aktivitas sehari-hari. Bahkan dalam banyak kasus,
prosedur yang dilakukan di ruang ICU dikhususkan untuk menyelamatkan pasien
dari kematian.
Oleh sebab itu,
pasien yang mengalami kondisi kritis atau mengacam jiwa biasanya akan dipantau
secara intensif dengan peralatan khusus oleh tenaga medis yang sudah terampil
dan terlatih.
Akan ada banyak
kemungkinan yang bisa terjadi di ruang ICU. Hal inilah yang diharuskan untuk para
tenaga medis yang kebagian tugas jaga di ruang ICU harus siap jika
sewaktu-sewaktu ada pasien yang membutuhkan pertolongannya.
Terdengar suara
jeritan dari lantai paling atas rumah sakit. Beberapa orang menghampiri sumber
suara termasuk orang-orang yang sedang menunggu Gea di depan ruang ICU Rumah
Sakit Abdul Muluk
(ruang tunggu), kecuali ibu dan satu teman Gea—Melisha—yang tak bergerak sedikit pun
untuk melangkah. Sebab, langkah kaki seakan berat untuk meninggalkan Gea yang
sedang berjuang.
"Aku tidak
ingin kamu pergi dari hidupku, Gea ...!!" teriak laki-laki berkulit putih
yang juga menyukai warna biru seperti Gea.
"Apa yang
kamu lakukan di sini, Nak?" tanya laki-laki yang tak lagi muda dengan
beberapa rambut putih. Meski potongan rambutnya seperti polisi atau aparat
keamanan masyarakat lainnya, tapi masih terlihat jelas rambut yang mulai
memutih.
Haris adalah laki-laki
yang membawa Gea ke rumah sakit, tampak merasa terpukul akan kenyataan yang
harus di-hadapi. Semangat dalam diri seakan memudar kala dokter mengatakan
bahwa kecil kemungkinan untuk bisa menyela-matkan hidup Gea.
"Gea ...!
Kamu kenapa ...! Apa salahku, sampai kamu tega ingin pergi jauh untuk
selamanya!?" Masih dengan kepala tertunduk, lutut menyentuh lantai, tangan
menutupi mata yang tak henti-hentinya mengeluarkan berlian.
Laki-laki yang
berusaha menenangkan Haris mendekat dan memegang bahu Haris seraya berkata,
"Bukan hanya kamu yang merasa terpukul dan sedih karena kondisi Gea yang
masih kritis, kami semua—keluarga dan teman Gea—lainnya pun merasa kesedihan yang
amat dalam." Berhenti. Menghela napas berat, lalu melanjutkan ucapannya
kembali. "Ayolah, Nak! Jangan sampai kamu malah hilang kendali dan terjun
ke bawah karena merasa tak berdaya," ucap Pak Raka—ayah Gea—yang mencoba menenangkan
Haris.
Haris menghapus
air matanya, lalu berdiri. Pak Raka tersenyum, meski hati mengiris pilu. Semua
orang kembali ke ruangan dan tujuan masing-masing. Rombongan keluarga serta
teman Gea menuju ruang ICU.
Tiba di sana,
dokter keluar dari ruangan, semua ber-harap ada perkembangan dari kondisi Gea.
Dokter hanya bisa diam. Ibu Gea mengguncang-guncang tubuh dokter sambil meminta
dokter tersebut agar bisa menyelamatkan nyawa anak semata wayangnya. Ayah Gea
mencoba menenangkan istrinya.
"Dokter,
kumohon ..., selamatkanlah nyawa putriku ...," pinta Bu Tika dengan nada
lirih sedikit serak.
"Doakan saja
yang terbaik untuk putri kita, Ma ...," ucap Pak Raka. "Ayo!
Sebaiknya kita salat Asar dulu," lanjutnya.
Mereka semua
akhirnya salat berjamaah di masjid Rumah Sakit Abdul Moeluk. Usai salat dan
berdoa, mereka langsung kembali menuju ruang ICU. Lampu masih merah, pertanda
kondisi Gea masih memprihatinkan. Dokter menya-rankan untuk dirujuk ke rumah
sakit di Jakarta. Akhirnya orang tua Gea sepakat untuk membawa Gea berobat ke
Jakarta. Yah, masih dalam keadaan koma!
***
Sudah dua minggu,
Gea masih saja menutup mata. Isak tangis tak lagi bisa dibendung. Hingga pada
akhirnya, saat dalam perjalanan ke Jakarta, jari telunjuk Gea tiba-tiba ber-gerak.
Bu Tika yang melihat, langsung tersenyum. Seakan ada secercah harapan untuk
bisa menyelamatkan nyawa anak semata wayangnya. Dokter yang juga ikut bersama
mereka, langsung mengambil tindakan.
"Dok, apa pun
yang terjadi, kami berusaha ikhlas. Namun, berusahalah untuk menyelamatkan
Gea," pinta Pak Raka. Tegar di luar, hati menangis.
"Saya akan
berusaha semampu dan sekuat tenaga. Sisa-nya, pasrahkan kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala," ucap dokter.
Matahari kali ini
bersembunyi. Langit ikut berduka atas apa yang terjadi pada Gea. Tiba di rumah
sakit, Gea langsung ditangani oleh dokter yang bertugas. Sementara ayah dan
paman Gea menyelesaikan administrasi, ibu dan bibinya Gea menunggu sambil
berdoa. Pun ada Haris, Mayang, Rini dan Rafi -teman Gea- yang juga ikut berdoa.
Tidak lama
kemudian, lampu ICU tak lagi berwarna merah. Ucap syukur kepada Allah, Gea
sudah sadarkan diri. Hanya saja, tubuh masih terkulai lemah.
Dokter dan kedua
perawat cantik keluar dari ruang ICU sambil memindahkan Gea ke ruangan lain.
Gea masih menutup mata, akan tetapi—tak lagi dalam kondisi kritis seperti dua
minggu ke belakang. Senyum sumringah terlempar dari wajah orang-orang yang
menyayangi Gea.
"Aku ada di
mana?" Gea bertanya dan perlahan mem-buka matanya. Penglihatan masih
gelap, padahal mata Gea sudah terbuka lebar. Buta? Apakah Gea mengalami pembuta-an
pada matanya? Sakit apakah Gea? Apa yang sebenarnya terjadi pada Gea sampai-sampai
mengalami koma selama dua minggu?
"Tenanglah,
Gea! Kamu sedang di rumah sakit. Jangan banyak bicara atau bergerak dulu,
kondisimu masih lemah," jawab suster yang sedang memeriksa tensi darah
Gea.
"Lalu, apa
ada yang menemaniku di sini, Sus?"
"Kamu
beruntung, banyak yang menyayangi dan begitu khawatir akan kondisimu selama dua
minggu kemarin, Gea. Mereka bahkan terjaga untuk terus mendoakan."
"Dua minggu?
Apa yang terjadi, Sus?" tanya Gea yang dibuat kaget dan semakin penasaran.
"Sudah.
Sebaiknya sekarang kamu istirahat dulu, ya! Sebentar lagi keluarga dan
teman-temanmu akan ke sini," ucap Suster Nissa menutup pembicaraan dan
membalikkan badan untuk keluar ruangan.
Belum sempat
membalikkan badan, Gea menghentikan langkah kaki Suster Nissa dan memegang
tangannya. Suster itu pun bingung dan bertanya-tanya.
"Ada yang
bisa saya bantu?"
"Iya. Tolong
hidupkan lampunya ya, Sus."
Suster Nissa
tersenyum, sedikit heran. "Kalau lampu dari tadi mati, saya tidak bisa
memeriksa kamu, Gea."
"Tapi kenapa
semua ruangan gelap?"
"Kamu hanya
perlu istirahat. Nanti dokter akan memeriksamu kembali. Semoga lekas sembuh,
ya!" ucap suster Nissa dan berlalu meninggalkan Gea.
Tidak lama setelah
Nissa meninggalkan ruang di mana tempat Gea beristirahat—semua keluarga dan
teman—yang sudah menunggu di luar,
segera masuk untuk melihat keadaan Gea. Sedangkan ayahnya Gea, berada di ruangan
dokter untuk mendengarkan keterangan tentang penyakit yang diderita oleh putrinya.
Haris yang saat itu sedang berada di musala, dengan langkah terburu-buru,
sampai-sampai menabrak orang yang berlalu-lalang di rumah sakit, segera menuju
ruangan.
Gea tertidur pulas
karena habis diberikan obat pada suster. Air mata semua orang menetes tak bisa
dihentikan, menangis tapi tak bersuara. Haris masuk ke dalam ruangan dan disusul
ayahnya Gea.
"Gea sudah
sadar, ya?"
Semua melihat
Haris seakan memberi isyarat agar Haris tidak bersuara keras, karena akan
membangunkan istirahat Gea. Sedangkan ayah Gea, dengan langkah gontai
menghampiri sambil mencium putri kesayangannya. Ibu Gea memegang bahu ayahnya,
seakan memberi kekuatan. Entah apa yang terjadi pada Gea, sehingga bisa
mengalami koma selama seminggu dan ayah Gea pun merasa prihatin begitu tahu
kondisi anaknya.[]
Catatan : Jika ada persamaan baik tokoh maupun isi cerita, mohon maaf karena ini hanya kisah fiktif belaka. Gambar pun hanya sebagai illustrasi pendukung cerita. Terima kasih sudah mampir di situs sederhana Princess Meymey, semoga ceritanya menginspirasi.
Baca cerita sebelumnya di sini.
0 Response to "Diary Dua Musim: Kaca yang Mudah Retak"
Posting Komentar