-->

[Cerpen] Ketika Cinta Menyapa



Perasaan suka atau cinta kepada seseorang itu sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat. Mulut bergetar saat kata hati terucap jelas dibibirku bahkan getaran cinta yang dirasa sampai merasuk sukma. Aku tak menyangka akan merasakan jatuh cinta kepada sosok lelaki yang sudah kukenal sejak SMP, bahkan sudah seperti keluarga.

Perasaan aneh itu muncul saat hati benar-benar merasa nyaman dan semakin ingin selalu bersamanya. Proses pendekatan yang cukup lama, hingga pada akhirnya pada tanggal yang terbilang cantik dan unik aku memutuskan untuk berpacaran dengannya. Tanggal sepuluh bulan sepuluh dan pada tahun dua ribu sepuluh, yah ... pada tanggal itulah ditetapkan sebagai tanggal jadianku dengannya. Hari-hari yang kulalui penuh dengan kebahagiaan, ceria, canda dan tawa, seakan membuatku tidak ingin berpisah walau sesaat.

“Kamu tahu? Dulu kukira, mendapatkanmu bagaikan menunggu bulan jatuh dari langit. Dan saat ini aku seperti mimpi, kebahagiaanku adalah saat bersamamu,” ucap Doni penuh bahagia.

Virus merah jambu membuatku semakin terbang ke angkasa. Aku merasa bahagia, benar-benar bahagia.

“Aku pun begitu, cinta yang kurasa menyeruak dinding-dinding hati yang terdalam. Jika ini hanyalah mimpi, biarkan kita hidup dalam mimpi yang indah ini agar saat kita terbangun nanti, terdapat sinar yang cerah dari pancaran wajah kita,” jawabku dengan mata berbinar-binar.

“Jangan selalu hidup dalam mimpi, tapi cobalah untuk membuat mimpi menjadi nyata. Aku sangat mencintaimu, Din,” ucap Doni mengutarakan perasaannya.

“Aku juga mencintaimu, Don,” jawabku tersipu malu.

Tidak ada yang mengerti akan kisah percintaanku ini, perjalanan hidup yang cukup unik; bermula menjadi seperti saudara sampai pada akhirnya timbul benih-benih cinta yang kami rasakan. Kami pun mengutarakan perasaan masing-masing. Tapi yang keluarga tahu bahwa hubungan kami hanya sebatas kakak dan adik; seperti keluarga kandung.

Hingga tiba pada detik-detik menjelang kelulusan wisuda, aku mulai memberanikan diri untuk berterus terang kepada keluarga terutama kepada kedua orang tuaku. Setelah memberitahu tentang hubunganku dengannya, berharap mendapat respon yang baik karena aku pikir laki-laki itu sudah dikenal keluargaku terbilang lama, tapi apadaya semua diluar dugaan—keluarga besar sangat menentang hubungan kami.

Entah apa yang harus dilakukan, aku cukup takjub dengan fakta yang harus diterima. Perasaan benar-benar hancur. Cinta tanpa restu orang tua, seperti badai yang menghancurkan hati dan dinding-dinding harapan, serta merobohkan semua mimpi-mimpi yang pernah kutulis dalam diri ini. Rumah yang terlihat bagus, belum tentu memiliki dinding-dinding yang kuat untuk menahan goncangan gempa.

“Aku sudah menceritakan hubungan kita kepada keluargaku, tapi ....” Ucapanku terhenti dan terdapat berlian yang sangat berharga keluar dari mata indah ini. Air mata membanjiri kamar tidurku.

“Tapi apa?” tanya Doni cemas.

“Keluargaku menentang hubungan kita. Lalu, haruskah kisah ini berakhir begitu saja? Aku tidak mengerti takdir apa yang telah Allah berikan untukku. Ini bukan hanya sekadar berbicara tentang cinta, tapi ini sebuah kenyamanan yang susah didapatkan.” Kedilemaan yang dialami seakan menggerogoti jantung, benar-benar terasa sakit bahkan jiwa dan raga seakan mati saat tidak ada restu dari orang tua.

“Tanpa restu dari orang tua, hubungan ini tidak ada artinya. Tapi setidaknya, bisakah kita meyakinkan mereka agar mendapatkan restu untuk menjalin hubungan yang lebih serius?” tanya Doni, meminta waktu untuk meluluhkan hati orang tuaku.

“Oke, kita jalani semua ini seperti sungai—berjalan mengikuti kemana air akan bermuara.”

Akhirnya kami memutuskan untuk backstreet.

***

Semakin hari, tidak ada perubahan dalam keputusan keluargaku; belum juga ada restu yang terlihat dari aura wajah mereka. Hingga pada akhirnya, aku memutuskan untuk merantau—mencari kerja ke luar kota; Jakarta. Aku ingin memberikan sesuatu yang berharga untuk orang tuaku dari hasil kerja yang akan didapat nanti.

Jarak kini tercipta jelas di antara hubungan kami, bukan hanya karena tidak ada restu tapi juga karena tempat yang membuat kami terpisah. Enam bulan sudah kami menjalin hubungan jarak jauh. Sampai tiba akhirnya, laki-laki yang aku cintai meminta kepastian untuk kelanjutan hubungan kami.

“Kalau memang serius denganku, tolong pulang ke Lampung; kita menikah.”

Pertanyaan yang membuatku terpukau, serasa tak percaya mengapa dia seakan tidak percaya akan cintaku; berburu-buru ingin menikah padahal restu dari orang tuaku belum juga didapatkan. Perasaan yang dirasakan campur aduk, kedilemaan agar hubungan direstui belum terwujud tapi laki-laki yang kucintai sudah ingin ke dalam hubungan yang serius. Selain itu, aku sudah berjanji untuk membahagiakan orang tuaku terlebih dahulu sebelum menikah tapi jika tidak pulang, hubungan kami dipertaruhkan.

Setelah berperang dengan hati dan pikiran, akhirnya aku mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kami. Karena bagiku, keluarga adalah segalanya—keluarga lah yang sudah mengerahkan kasih sayang mereka sejak kecil sampai aku dewasa seperti ini. Aku merasa tidak pantas, dan seperti anak durhaka jika mengutamakan laki-laki tersebut. Kedua orang tuaku pun memiliki alasan mengapa tidak merestui hubungan kami.

Tidak mudah melupakan masa lalu, apalagi melupakan orang yang sangat dicintai. Tidak mudah membuang perasaan yang menjamur di dalam hati, apalagi perasaan cinta kepada cinta pertama. Berbagai cara telah kulakukan agar terlepas dari bayang-bayang masa lalu yang menghantui hidupku selama bertahun-tahun.

***

Hari berlalu begitu cepat, dua tahun sudah aku menjomblo—kesibukan bisa membuatku melupakan cinta yang kandas meski sudah bertahun-tahun bersama.

“Untuk apa berpacaran lama-lama kalau ujung-ujungnya tidak berakhir pada jenjang pernikahan; rugi waktu dan usia,” ucapku berpikir lebih dewasa.

Aku memutuskan untuk tidak berpacaran sebelum menikah, jika ada laki-laki yang serius padanya dan mengajak menikah tanpa mengekang suasana hati—aku setuju untuk segera menikah. Tentunya menikah dengan laki-laki yang baik akhlaknya.

Karena sibuk bekerja, aku jadi lupa kalau usiaku sudah matang—saatnya aku mencari imam yang baik untuk mendampingiku seumur hidup.

Di pertigaan malam, angin berhembus sangat kencang, menerobos sampai ke sela-sela pintu. Sajadah menjadi saksi bisu atas dedoa yang kupanjatkan. Aku berdoa dengan khusu’ dan memohon agar diberikan jodoh yang terbaik. Keyakinan dan kepercayaan akan kekuatan doa, membuatku tidak pernah lelah untuk berusaha serta berdoa meminta jodoh. Karena janji Allah itu pasti.

Tahun dua ribu tiga belas, Alhamdulillah ... doaku terjawab. Laki-laki yang hadir dalam hidupku saat itu bukanlah pangeran seperti di negeri dongeng, bukan pula sosok laki-laki yang memiliki banyak harta, tapi dia adalah adik dari bapak kosanku. Akhlaq dan pengetahuanya yang dimiliki laki-laki itu membungkam mulutku. Benar-benar laki-laki yang shaleh; insya Allah.

Kami berdua tidak ingin menjalin hubungan sebelum menikah, menjaga hati agar tidak terjerumus ke lembah Syaiton. Laki-laki itu mulai mendekat, bahkan sesekali menghubungiku tapi aku bersikap tak acuh.

Perkataan pedas terlontar dari bibirku, “Kalau tidak serius, dilarang dekat-dekat!” ucapku dengan tegas.

Aku dan dia jarang bertemu dan berkomunikasi, tapi ada jalan yang membawa kami ke jenjang pernikahan. Pinangan dari laki-laki itu membuatku jauh merasa lebih bahagia dari sebelumnya.
Hingga pada akhirnya, pada tanggal sebelas bulan sepuluh di tahun dua ribu empat belas, kami melangsungkan pernikahan. Bahkan sekarang sudah dikarunia seorang putri yang sangat cantik dan menggemaskan.

***

Memiliki rasa cinta adalah perasaan yang wajar dalam hidup seseorang tapi cinta sebelum menikah terkadang banyak menguras emosi dan air mata. Awalnya memang indah, tapi setelah menjalin hubungan yang lama tanpa ikatan sakral—hanya menyita waktu jika hubungan berakhir begitu saja.

Saudariku, jaga hatimu untuk laki-laki yang akan mendampingi hidupmu selamanya. Jangan bantu Setan memenangkan permainan mereka. Sesungguhnya cinta sebelum menikah adalah cinta sesaat, sedangkan cinta yang sejati adalah cinta setelah pernikahan. Karena pernikahan adalah sebuah hubungan yang terjalin atas restu illahi. Namun, jika jodoh belum juga menghampirimu, tetaplah istiqomah—sertakan Allah dalam segala hal. Menurutmu, pasangan yang kamu cari adalah yang terbaik untukmu. Tapi ketahuilah, jodoh yang tepat untuk hidupmu dan kebahagiaanmu adalah pilihan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

****

Lampung, 30 September 2016
Penulis : Irma Dewi Meilinda

0 Response to "[Cerpen] Ketika Cinta Menyapa"

Posting Komentar