Diary Dua Musim: Gea Akhirnya Angkat Bicara
Pagi-pagi buta, Gea meminta suster untuk
mengantarnya ke taman dengan alasan, ingin menghirup udara segar karena bosan
di dalam ruangan yang membuatnya sesak. Suster mengikuti keinginan Gea atas
izin dari dokter. Gea pun nampak bahagia ketika sampai di taman. Bagaimana
tidak? Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa melihat lukisan Allah yang sangat
luar biasa. Langit yang begitu megah. Bunga-bunga di taman yang nampak segar
karena semalam habis diguyur hujan.
Sejenak, Gea menutup mata sambil merasakan udara di lapangan
terbuka tersebut. Gea merasakan kenyamanan dan kedamaian dalam hidupnya sambil
memikirkan sesuatu. Ada harap yang terselip dibenakknya.
Tiba-tiba, sosok laki-laki datang menghampiri sambil membawa
bunga kesukaan Gea. Gea mengerutkan dahi karena mencium aroma khas dari bunga
kesukaannya. Bukan hanya itu, Gea hapal dengan bau semerbak dari parfum
seseorang yang datang, tanpa melihat wajahnya. Gea membuka mata dan menengok ke
arah belakang.
Sontak, Gea terkejut karena suster yang sedari tadi menemani
sudah digantikan posisinya oleh Haris. Gea langsung memalingkan wajah dan
meluruskan pandangan ke depan. Sedangkan Haris, dengan langkah cepat, berlutut
dihadapan Gea sambil memberikan bunga Mawar. Gea masih kekeh dengan
pendiriannya, diam dan mengabaikan apa pun yang dilakukan Haris.
"Mau sampai kapan kamu diam begitu, Gea?" tanya
Haris dengan mata berbinar.
Gea memindahkan pandangan ke arah Haris dengan sorot mata yang
tajam. Ada sesuatu yang dipendam, seakan susah untuk diluapkan.
"Kenapa kamu memandangku seperti ingin menerkam?"
Haris bertanya kembali; semakin dibuat bingung.
"Pergilah dari hadapanku!" pinta Gea sambil berusaha
mendorong kursi rodanya, tapi Haris menahan. Gea mengembuskan napas berat
sambil memandang Haris dengan tatapan kecewa.
"Gea! Kumohon, jangan seperti ini terus. Kesalahan apa
yang aku lakukan, hingga membuatmu sangat marah?"
Gea menelan air liur, menatap kembali wajah Haris. Mulut
terkunci, tetapi mata seakan berbicara. Ada begitu banyak kekecewaan yang Gea
dapatkan, hingga sulit untuk memaafkan Haris. Gea seakan memberi tanda agar
Haris menyadari sendiri kesalahannya. Akan tetapi, Haris justru semakin dibuat
bingung. Haris menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Sedangkan Gea,
masih mengunci mulutnya untuk membicarakan permasalahan yang terjadi dan memanggil
suster.
"Suster! Suster! Tolong bantu saya untuk kembali ke
kamar," pinta Gea dengan suara serak. Suster yang memang tidak jauh dari
Gea, langsung membantu. Meninggalkan Haris dengan bunga yang ada
digenggamannya.
Dengan kepala tertunduk, Haris membuang bunga yang sengaja
dibeli untuk Gea tapi tidak sedikit pun disentuh oleh sahabatnya itu. Haris
mengepalkan kedua tangannya dan berteriak, mendongakkan kepala ke langit,
seakan marah atas apa yang terjadi. Percikan dari langit langsung mengguyur
tubuh Haris, disambut angin yang begitu kencang. Bukan main! Cuaca bisa kompak
dengan suasana hati dan amarah Gea.
Sesekali, Gea menoleh ke arah Haris, melihat laki-laki yang
sebenarnya sangat disayangi itu basah kuyup. Antara ingin menghampiri kembali
dan mempertahankan ego membuat Gea menjadi orang yang begitu keras kepala.
Mungkin benar apa kata pepatah, 'AKIBAT NILA SETITIK, RUSAK SUSU
SEBELANGA.'
Gea akhirnya sampai di ruang peristirahatannya. Suster
membantu Gea berbaring. Gea beristirahat sejenak. Tidak lama kemudian, orang
tua Gea datang usai menebus obat. Melisha dan Mayang sedang pergi membeli
sarapan sekaligus untuk makan siang, diminta tolong oleh Pak Raka.
"Anak ayah sudah kembali," ucap Pak Raka tersenyum;
menyembunyikan luka yang mencabik-cabik dinding pertahanan hatinya.
"Sekarang makan dulu ya, Nak! Terus minum obat dan
istirahat," ucap Bu Tika menambahkan.
Gea mengangguk. Bola mata Gea berbinar menatap kedua orang
tuanya yang begitu perhatian. Dalam hati kecilnya berkata, "sebenarnya aku sakit apa, sehingga
kalian seakan bersikap kalau aku ini akan pergi untuk selamanya." Tanpa
disadari, air mata Gea menetes. Ibu Tika yang melihatnya, langsung menghapus
berlian yang berjatuhan di pipi manis anak semata wayangnya.
"Nak, ibu tidak rela jika kamu membiarkan berlian ini
jatuh begitu saja," ucap Bu Tika sambil menunjukkan air mata Gea yang
berhasil dihapus dengan tangannya.
"Aku boleh peluk Ibu, nggak?"
Keinginan Gea membuat kedua orang tuanya saling bertatapan.
Ayah Gea mengedipkan mata, meminta istrinya untuk melakukan apa yang diinginkan
oleh putri kesayangan mereka. Bu Tika memeluk erat tubuh putrinya dengan linangan
air mata. Begitu juga dengan Gea, mendekap erat tubuh ibunya; memejamkan mata
dan mengharapkan sesuatu pada Allah. Bukan hanya Tika dan Gea yang memiliki
harapan besar, Pak Raka jauh lebih berharap untuk kebahagiaan keluarga
kecilnya, terutama untuk kesembuhan putrinya.
Kemudian Pak Raka memecah kehangatan antara anak dan ibu yang
sedang berpelukan. "Sudah! Kapan Gea makannya kalau pelukan terus."
Gea melepaskan pelukannya. Tika langsung mengusap air mata,
sebelum dilihat oleh Gea. Drama antara anak dan ibu pun berakhir. Kini giliran
drama antara ayah dan anak.
"Kali ini, ayah yang suapin Gea, ya!" pinta Gea, memegang
tangan ayahnya.
Pak Raka tersenyum dan mencubit
gemas pipi anaknya itu. "Siap, Bidadariku!"
***
Enam menit kemudian, Melisha dan Mayang datang dengan membawa
pesanan Pak Raka. Gea tersenyum, tapi untuk Melisha; masih ada yang membuat
hati Gea dongkol.
Gea sudah selesai sarapan dan minum obat. Kini giliran kedua
orang tua dan sahabatnya yang sarapan. Sedangkan Haris, masih berada di taman
dengan baju basah kuyup. Hingga akhirnya, Haris pingsan dan dilarikan ke ruang
UGD. Mendengar semua itu, ada kecemasan dari rawut wajah Gea. Melisha dan
Mayang langsung melihat keadaan Haris. Orang tua Gea tidak beranjak dari tempat
duduknya karena mereka lebih mengkhawatirkan putrinya. Meski dalam hati mereka
juga mengkhawatirkan keadaan Haris yang sudah dianggap seperti anak sendiri.
Di ruang UGD, Haris nampak tak sadarkan diri. Lalu, mengingau;
menyebut-nyebut nama Gea. Haris dan Gea adalah sahabat sejak kecil, sama dengan
Melisha. Mereka bersahabat bahkan sejak dalam kandungan, karena orang tua dari
ketiganya sering berkumpul bersama. Bukan hanya sebatas tetangga, melainkan
sudah seperti keluarga.
"Haris kenapa, Yah?" tanya Gea, cemas.
"Ayah sudah menduganya, kamu pasti masih peduli dengan
Haris, meskipun sikapmu tiba-tiba berubah menjadi dingin."
"Ayah!" Gea memajukan bibirnya; terlihat sedikit
kesal.
"Nak, tolong jawab yang jujur! Sebenarnya kamu ada
masalah apa dengan Haris dan Melisha? Kenapa kamu begitu marah pada mereka?
Sedangkan ayah tahu, kalian bertiga itu sahabatan sejak kecil."
Seketika hening. Belum sempat bercerita, Mayang datang membawa
berita tentang Haris. Dengan napas yang tersengal-sengal, Mayang memberitahu
bahwa Haris belum sadarkan diri. Mayang diminta suster untuk mempertemukan Gea
dengan Haris. Namun, seperti biasa, Gea kekeh pada pendiriannya yang tidak
ingin bertemu, apalagi berbicara pada Haris.
"Jangan keras kepala seperti ini, Sayang! Ibu yakin, anak
ibu ini orang yang baik. Kita lihat keadaan Haris sekarang ya, Nak!" Bu
Tika mencoba membujuk Gea.
"Ayolah, Gea! Sekarang, singkirkan egomu. Kami tahu, kamu
juga saat ini sedang tidak sehat. Jangan membuat batin kamu semakin tersiksa.
Aku yakin, sekeras apa pun egomu saat ini, dalam hati kecilmu masih ada rasa
peduli pada Haris." Mayang memohon dengan menggenggam tangan Gea.
Gea akhirnya setuju untuk bertemu dengan Haris. Haris yang tadinya masih dalam keadaan tidak sadar,
ketika Gea membuka suara—menyebut nama Haris, lelaki tinggi dengan kulit kuning
langsat ini perlahan membuka mata. Gea dan Haris dibiarkan untuk mengobrol
berdua.
"Gea, aku tahu, kamu tidak mungkin marah sampai tak
peduli padaku. Buktinya, ketika mendengar aku masuk UGD, kamu langsung
menghampiri."
"Jangan senang dulu, Ris! Aku ke sini karena
terpaksa!"
"Jangan pernah sembunyikan kepedulianmu itu, Gea. Aku
sangat mengenalmu. Dulu juga kamu pernah bersikap seperti ini padaku, bahkan
Melisha."
"Aku lelah, Ris. Kamu sudah sadarkan diri, kan? Sebaiknya
aku beristirahat ke ruanganku." Gea membelokkan kursi rodanya. Tapi tangan
Haris meraih tangan Gea. Gea terdiam.
Haris yang sudah membaik, kondisi tubuhnya melemah karena lama
terkena air hujan. Tidak pernah menyerah untuk terus meminta maaf pada Gea.
"Gea! Tolong, maafkan aku!"
"Maaf?" Gea menoleh dan melepaskan tangan Haris yang
menggenggam tangannya.
"Iya, maaf!"
“Kamu sayang sama aku?"
Pertanyaan Gea semakin membuat Haris bingung. Niat minta maaf
tapi malah dilontarkan pertanyaan yang memang Gea sudah tahu jawabannya.
"Kalau aku nggak sayang sama kamu, apa coba arti persahabatan
kita selama ini?"
"Jawab saja!"
"Jelas, aku sayang sama kamu, Gea. Saat tahu kamu sakit,
aku langsung datang dan menemanimu sampai saat ini."
"Tapi kenapa jahat sama aku?"
"Jahat kenapa, Gea?"
Saat sedang berbincang serius, dokter datang dan memberitahu
bahwa Gea harus beristirahat.
"Tapi, Dok!" Haris belum juga mendapatkan jawaban
atas pertanyaan yang selama ini menghantuinya.
Dokter menyuruh suster agar memberikan teh hangat kepada Haris dan memberikan beberapa obat. Lalu, membawa Gea ke ruang peristirahatannya. Masih menjadi misteri tentang di balik amarah Gea dan sakit yang menyerangnya.[]
Catatan : Jika ada persamaan baik tokoh maupun isi cerita, mohon maaf karena ini hanya kisah fiktif belaka. Gambar pun hanya sebagai illustrasi pendukung cerita. Terima kasih sudah mampir di situs sederhana Princess Meymey, semoga ceritanya menginspirasi.
0 Response to "Diary Dua Musim: Gea Akhirnya Angkat Bicara"
Posting Komentar