Pentingkah Membuat Outline Sebelum Menulis Cerpen?
Rabu, 10 April 2019
Add Comment
Outline adalah kerangka, rancangan atau garis besarnya merupakan rencana penulisan yang memuat garis besar dari suatu karangan yang akan digarap. Outline juga merupakan rangkaian ide-ide yang disusun secara sistematis.
Cerpen adalah jenis karya sastra yang memaparkan kisah ataupun cerita tentang kehidupan manusia lewat tulisan pendek. Cerpen juga bisa disebut sebagai karangan fiktif yang berisikan tentang sebagian kehidupan seseorang atau juga kehidupan yang diceritakan secara ringkas yang berfokus pada suatu tokoh saja.
Berikut ini adalah outline cerpen yang berjudul "Biarkan Waktu yang Bicara".
1. Tema pada cerpen, mengupas pada masalah yang relatif sederhana. Pada cerpen ini, penulis membuat cerpen dengan tema "IBU".
2. Latar yang dilukiskan pada cerpen hanya sebentar dan sangat relatif. Latar terbagi pada beberapa bagian, yaitu latar tempat, latar suasana, dan latar waktu.
2.1 Latar tempat menjelaskan beberapa tempat kejadian cerita. Pada cerpen "Biarkan Waktu yang Bicara", penulis membuat latar tempatnya di Rumah Faisal, Rumah Chessy, Panti Asuhan, Kantor Bapak Hadi.
2.2 Latar Suasana berkaitan dengan perasaan atau suasana kejadian peristiwa dalam cerpen itu terjadi. Contoh latar suasana yang menggambarkan cerita berjudul "Biarkan Waktu yang Bicara bisa dibaca ulasan berikut ini.
a. Sedih : Ada rasa marah ketika ia membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, sedangkan mereka justru hanya memberikan kasih sayang berupa uang bukan perhatian. Hati berontak kala melihat teman-temannya menceritakan kebersamaan bersama keluarga, sedangkan ia hanya bisa tersenyum tipis mendengarnya.
b. Haru : Suatu ketika, ada sosok wanita yang bisa menyatukan Faisal dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tua Faisal merasa bersalah, hanya karena mengejar materi—mereka sampai menukar kasih sayang dengan uang. Mereka pikir uang bisa membuat anaknya bahagia, hingga anaknya tidak pernah merasakan kekurangan. Nyatanya semua itu salah, justru uang membuat Faisal menjadi sosok yang pemarah dan keras kepala.
c. Bahagia : Akhirnya hubungan Faisal dengan kedua orang tuanya menjadi harmonis. Di sela kesibukan orang tua Faisal, selalu disempatkan untuk berkumpul dengan anak semata wayangnya itu. Seperti namanya, Chessy memberikan kedamaian di dalam keluarga Faisal.
2.3 Latar Waktu berkaitan dengan kapan peristiwa dalam cerpen terjadi.
Pagi : merasakan konflik batin kala mendengar cerita teman-temannya.
Siang : pertemuan Faisal dengan Chessy.
Malam : makan malam keluarga yang membuat Faisal merasa bahagia.
3. Alur dalam cerpen dibuat lebih sederhana dengan ruang gerak yang sempit dan terbatas. Seperti contoh cerpen berjudul 'Biarkan Waktu yang Bicara', penulis membuat alur 'maju'.
4. Tokoh yang dimunculkan pada cerpen, hanya beberapa orang saja. Jalan cerita yang dibangun pelaku juga sangat singkat. Dalam cerpen berjudul 'Biarkan Waktu yang Bicara', tidak ada tokoh antagonis karena hanya ada konflik batin yang dialami oleh tokoh utama.
a. Faisal : Protagonis
b. Chessy : Tirtagonis
c. Orang Tua Faisal : Protagonis (Pak Hadi dan Bu Hafizhah)
5. Penokohan atau perwatakan pada cerpen diungkapkan singkat, jelas, dan langsung terarah.
a. Faisal : pemarah dan keras kepala
b. Chessy : penyayang, penyabar, baik
c. Hadi : pekerja keras tapi keras kepala
d. Hafizhah : pintar, pekerja keras, baik
6. Sudut Pandang terbagi dari beberapa bagian dan pada cerpen ini, penulis membuat cerita dengan sudut pandang orang ketiga mahatahu.
Sudut pandang orang ketiga mahatahu. Dalam karyanya, penulis mengetahui segala hal tentang semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Penulis juga bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya.
Teman-teman bisa melihat dan membaca cerpen yang berjudul "Biarkan Waktu yang Berbicara" di bawah ini.
Sekian dulu penjabaran tentang contoh outline dalam pembuatan cerpen versi Princess Meymey. Jika ada pertanyaan atau ada koreksian tentang ulasan di atas, mohon komen di kolom komentar.
Biarkan Waktu yang Bicara
Oleh: Princess Meymey
Terdengar gemuruh air yang bersahutan dengan angin, membuat Rahel meninggalkan perjalanannya di kota impian. Ditambah, teriakan alarm yang terdengar jelas di telinga membuat mata langsung terbuka lebar.
“Ternyata hari sudah pagi,” ucap Rahel mematikan alarm. Lalu merenggangkan otot sejenak sebelum beranjak dari tempat tidur.
Matahari kembali tersenyum. Rahel memanfaatkan keadaan tersebut karena ada kuliah jam tujuh pagi. Dengan langkah terburu-buru, Rahel langsung berangkat ke kampus yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, khawatir langit kembali menangis.
Tiba di kampus, dengan napas yang masih tersenggal-senggal, Rahel duduk sejenak di lantai dengan posisi menyandar sambil menunggu dosen datang. Teman-temannya sedang asyik bercerita, Rahel hanya mendengarkan karena masih mengatur napas. Tidak lama kemudian, dosen yang ditunggu datang. Semua mahasiswa berdiri dan bersiap untuk masuk kelas dengan langkah cepat, karena dosen kali ini sedikit sensitif, bisa disebut dosen killer.
“Selamat pagi, semua. Apa kabar?” tanya Dosen mengawali percakapan sebelum memulai materi perkuliahan.
Semua menjawab dengan serentak sambil mengeluarkan alat tulis. “Pagi, Pak. Baik.”
“Oke, sebelum saya memulai materi hari ini, harap semuanya mematikan ponsel atau minimal di silent.”
Semua mahasiswa mengikuti perintah Pak Rico. Pandangan fokus ke depan. Pak Rico mulai memberikan materi perkuliahan. Tapi ketika sedang asyik menerangkan, ada beberapa mahasiswa yang sibuk sendiri, hingga membuat Pak Rico marah dan langsung membuat suasana kelas menjadi horor.
“Kalau tidak ingin belajar, silakan keluar!”
Seketika hening. Semua mahasiswa saling melirik satu sama lain.
“Baiklah! Perkuliahan hari ini saya cukupkan saja. Untuk pertemuan berikutnya, silakan cari dosen lain. Terima kasih.” Pak Rico langsung merapikan berkas yang berserakan di meja dosen, lalu beranjak dari kursi dan pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Ada salah satu mahasiswa yang mencegah kepergian Pak Rico, tapi tidak berhasil dibujuk. Seakan seperti anak kecil yang sedang merengek menginginkan sesuatu, hingga akhirnya dosen tersebut masuk ruangan kembali.
“Jika ingin saya mengajar di sini, ikutilah peraturan yang saya buat!” Perintah Pak Rico dengan tegas.
Semua mahasiswa menjawab serentak dengan rasa takut. “Siap, Pak! Maafkan kami.”
Materi perkuliahan dimulai kembali. Dengan tertib mengerjakan tugas dan menanyakan apa yang tidak dimengerti. Tapi selang beberapa menit sebelum jam berakhir, masih saja ada yang membuat Pak Rico kembali marah, sampai pada akhirnya kami tidak bisa membujuknya untuk kembali dan itu adalah pertemuan terakhir dengan Pak Rico pada mata kuliah tersebut.
Sifat tenaga pendidik memang berbeda-beda, ada yang cepat marah dan ada pula yang dengan sabar menghadapi anak didiknya. Mungkin Pak Rico bukan tidak sabaran, hanya terbiasa disiplin. Jam perkuliahan selesai, semua mahasiswa keluar kelas dan pergi ke tujuan masing-masing. Ada yang ke kantin sambil nunggu kelas selanjutnya, ada yang pulang terlebih dahulu, ada yang ke perpustakaan, dan lainnya.
♡♡♡
Dua bulan kemudian, tidak terasa sudah lama menjadi seorang mahasiswa. Tubuh mulai terasa lelah, padahal tidak begitu banyak aktivitas seperti semasa SMP dan SMA. SMP masih kuat beraktivitas banyak, tapi sejak SMA—banyaknya aktivitas seringkali membuat tubuh tumbang bahkan sampai dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dari kecil tidak pernah sakit sampai dibawa ke rumah sakit, jarum menusuk tubuh ini pun ketika ada suntik wajib ketika kelas I – III SD.
Semua berawal dari SMA kelas X, terlalu over makan-makanan pedas, mengandung minyak, membuat lambung menjadi luka. Tapi ketika sakit menyerang, Rahel mengabaikan rasa sakit itu. Rahel pikir sakitnya hanya sesaat. Ternyata semakin hari, Rahel ternyata mengidap sakit ‘tukak lambung’. Itu pun tidak pernah diperiksa secara detail karena ketika dibawa ke rumah sakit saat pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit, kedua orang tua Rahel tidak menginginkan anaknya dirawat inap. Bahkan tidak pernah berpikir kalau anaknya memiliki penyakit serius. Dalam waktu yang bersamaan, sebenarnya Rahel terkena DBD. Banyak pasien yang terkena penyakit DBD tidak bisa disembuhkan, hingga mengakibatkan kematian.
Semakin hari, Rahel merasakan sakit yang luar biasa. Semua terasa sakit, dari lambung, ulu hati, susah bernapas, sampai sakit kepala yang membuatnya merasa hidupnya sudah tidak lama lagi.
Suarah seorang teman kosan Rahel mengetuk pintu kamarnya, berniat untuk mengajak makan siang bareng. “Rahel, udah makan belum?”
Tidak ada yang menyahut. Widya -teman kosan yang tidur di kamar sebelahan dengan kamar rahel- kembali mengetuk pintu. “Rahel, lo udah pulang belum?” tanya Widya dengan perasaan curiga.
Dengan cepat, Widya langsung membuka pintu kamar yang ternyata memang belum sempat terkunci. Dilihat, Rahel sedang tertidur di kasur dengan posisi belum melepas jilbab dan tas yang masih berserakan di atas kasur. Widya mencoba membangunkan Rahel.
“Rahel! Ayo, bangun! Makan bareng, yuk!” Dengan mengguncang tubuh Rahel, tapi tidak ada respon. Widya mencoba memeriksa pernapasan Rahel, dari situ Widya mulai panik karena Rahel tidak bernapas. Sekujur tubuh terasa dingin, kulit menjadi pucat. Widya memanggil pemilik kosan dan teman-teman kosan lainnya.
Semua berkumpul di kamar Rahel. Sedangkan kakak perempuannya Rahel yang memang tinggal satu kosan dengan Rahel masih berada di kampus.
Panik!
Takut!
Khawatir!
Gelisah!
Semua rasa campur aduk seperti es campur. Berusaha menyadarkan Rahel, tapi hasilnya nihil. Menelepon orang tua Rahel tapi tidak tersambung. Kakak perempuannya Rahel akhirnya datang dengan tenang walau sebenarnya ada kekhawatiran yang terpancar dari rawut wajahnya.
“Assalamu’alaikum. Ini ada apa?” tanya Rihana -kakaknya Rahel- yang masih sempat melemparkan senyum.
“Baru pulang, Na?” tanya Ibu Kos. “Ini adikmu dari tadi kamu coba bangunkan tapi tidak ada respon. Tubuhnya dingin dan kulitnya pucat begitu,” lanjutnya.
“Saya coba hubungi orang tua dulu, Bu. Tolong itu kasih minyak putih bagian leher dan kaki. Kaki dan tangannya pencet-pencetin biar ada rangsangan,” pinta Rihana.
Ketika telepon tersambung, Ayah Rahel langsung panik dan menghubungi kakaknya yang juga tinggal tidak jauh dari kosan Rahel dan Rihana. Rahel dilarikan ke rumah sakit terdekat, ternyata penuh. Lalu dipindah lagi ke rumah sakit lainnya, akhirnya ada kamar kosong. Rahel sementara dibawa ke UGD. Perawat rumah sakit berusaha memancing kesadaran Rahel, tapi tetap saja tidak ada respon. Sampai dokter pun langsung menangani Rahel, hingga tangan Rahel mulai bergerak.
“Alhamdulillah.” Semua berucap syukur, berterimakasih pada Allah karena masih melindungi Rahel. Perasaan yang menegangkan sejenak menjadi tenang.
Dokter menanyakan apa yang dirasakan Rahel. Masih sempat melemparkan senyum, padahal tubuh masih terasa lemah. Rahel menceritakan semua rasa sakit yang diderita. Dokter mendengarkan dengan seksama sambil memeriksa kondisi Rahel.
“Oke. Selesaikan administrasinya, sebaiknya adik ini di rawat inap karena kondisinya tidak memungkinkan jika dibiarkan begitu saja.”
Semua yang ikut ke rumah sakit bertanya-tanya tentang keadaan sebenarnya. Tapi dokter dan perawat masih bungkam karena harus memeriksa lebih lanjut melalui sampel darah Rahel. Rahel yang memang takut dengan jarum suntik, menjerit sesaat ketika jarum perlahan menusuk tangannya. Administrasi selesai, Rahel dibawa ke kamar sesuai yang dipesan.
Beberapa jam kemudian, hasil lab keluar. Dokter menjelaskan secara detail penyakit yang diderita Rahel. Kedua orang tua Rahel juga sudah ada di sana. Ibu Rahel menghela napas pendek. Pun dengan ayah Rahel. Kedua orang tua Rahel keluar sebentar, entah mendiskusikan tentang apa. Terlihat begitu serius dan ada kecemasan yang tersembunyi dibalik ketegaran mereka.
Malam harinya, Rahel terbangun karena ingin buang air kecil. Hal mengejutkan membuat sang kakak sempat bingung tapi diikuti gelak tawa, mengira adiknya sedang bergurau.
“Kak, kenapa lampunya dimatikan?” tanya Rahel dengan polos.
“Lampunya nggak mati, kok, Dek.”
“Tapi kok, gelap, Kak!”
“Serius, Dek?” Sang kakak mulai panik dan berusaha membangunkan ayah mereka.
Dua kakak-beradik ini berjalan menuju kamar mandi, tapi sebelumnya Rahel malah salah jalan di saat sang kakak sedang membangunkan Pak Syam; ayah Rahel. Kakak tertawa melihat adiknya, ingin nangis tapi terlihat lucu. Kakaknya memandu dengan hati-hati karena penglihatan Rahel menjadi gelap seperti orang buta padahal kondisi mata normal.
Dokter kembali memeriksa keadaan Rahel. Sang kakak memberitahu keadaan adiknya yang baru saja terjadi. Penglihatan menjadi gelap karena tensi darah turun drastis. Dokter memberikan resep obat kepada Rihana untuk ditebus.
♡♡♡
Sudah dua minggu Rahel dirawat, Rahel masih sempat menanyakan materi kuliah kepada teman-temannya. Semua orang di sana termasuk suster, menggelengkan kepala.
“Lagi sakit itu seharusnya istirahat total, Mba, bukan malah memikirkan yang lain.” Saran suster sambil memberikan obat.
“Nggak mau ketinggalan pelajaran, Sus.”
“Kalau gitu, lekas sembuh, Mba. Makannya jangan sedikit-sedikit biar stamina tubuh kembali pulih.” Suster meninggalkan ruangan setelah memberikan obat.
Ibu Rahel mendekat dan berkata, “Kalau sakit itu, ngomong, Nak! Jangan dipendam sendiri.”
Rahel terdiam sejenak. Mengela napas sebelum menjawab pertanyaan. “Aku sudah pernah bilang, Mam. Tapi tidak pernah dihiraukan,” ucap Rahel lirih.
“Ya sudah, setelah selesai makan. Minum obat setelah makan, lalu istirahat, ya.”
Terlihat jelas penyesalan campur kekhawatiran dari wajah ibu Rahel. Rahel tertidur pulas. Keringat bercucuran sampai mandi keringat dan rambut menjadi rontok.
‘Saya tidak rela jika Rahel harus pergi lebih dulu. Jika perlu, lebih baik saya yang menggantikan posisi Rahel. Perjalanan Rahel masih panjang. Saya menyesal pernah menyepelekan rasa sakit yang diderita Rahel. Sembuhkan anak saya, ya Rabbi ....’ Ibu Rahel berdoa dengan menitikkan air mata.
Jika sakit sudah terlanjur parah, tidak perlu lagi menanyakan yang sudah berlalu. Yang perlu dipikirkan adalah memperbaiki kesalahan agar tidak lagi terjadi hal yang membuat diri menjadi menyesal.
Sudah satu bulan Rahel tinggal di rumah sakit, merasa bosan karena terus makan-makanan rumah sakit dan tidak bisa bergerak dengan leluasa karena tangan sedang diinfus. Kedua orang tua Rahel akhirnya menyadari kesalahan mereka dan baru tahu kenapa Rahel tidak bisa terbuka dengan mereka. Bagaimana tidak? Setiap kali Rahel berusaha mengeluh tentang sakitnya, kedua orang tua selalu berkata kalau Rahel hanya masuk angin atau terlambat makan, bahkan mengira hanya kelelahan. Terutama sang ibu yang memang dari bayi hingga usianya remaja, Rahel lebih dekat dengan sang ibu daripada ayah. Karena sang ayah sibuk bekerja.
Sejak mengetahui kondisi Rahel, kedua orang tua menjadi waspada dan lebih sering menelepon Rahel, mengingatkan makan dan jangan terlalu banyak aktivitas. Dari situ pula, Rahel baru merasakan kasih sayang orang tua. Terutama saat mendengar cerita dari sang kakak, kalau ibu mereka menangis dan tidak rela jika Rahel harus secepat ini kembali kepada-Nya.
Ibu Rahel mengakui, kalau anaknya yang paling kuat adalah Rahel. Sehebat apa pun rasa sakit yang dirasa, Rahel tetap terlihat tegar. Ibu Rahel menyadari, sifat anak ketiganya ini sama persis seperti dirinya. Rahel merasakan kasih sayang ibunya yang berbeda, beda sebelum sang ibu tahu tentang sakitnya.
Haruskah anak menjadi sekarat terlebih dahulu, baru memberikan kasih sayang lebih kepada mereka?
Jika anak mengeluh sakit, pantaskah menyepelekan rasa sakit mereka karena tidak ingin berurusan dengan rumah sakit? Disebabkan biaya rumah sakit yang begitu mahal.
Itu sebabnya ada pepatah mengatakan,
‘Lebih baik mencegah daripada mengobati.’
Rahel yang terbilang cukup kuat dalam menghadapi situasi yang dialami, memang lebih banyak diam. Apalagi ketika ada suatu film yang pernah ditonton dan itu benar. Inti dari film tersebut adalah ketika sang anak justru lebih merasa nyaman bercerita kepada orang lain daripada orang tua mereka sendiri, tanyakan pada diri kalian (para orang tua), kenapa anak tidak ingin terbuka kepada orang tua sendiri, padahal orang tua justru lebih berhak menjadi teman curhat anak-anak mereka.
Terutama seorang ibu. Benar, kasih sayang seorang ibu itu luar biasa. Apalagi dilihat dari pengorbanannya sejak mengandung sampai membesarkan. Tapi semua itu tidak cukup bila sang anak ketika sudah beranjak remaja tidak berani terbuka kepada orang tuanya. Padahal ibu adalah tempat curhat paling nyaman. Bukan berarti ayah tidak pantas mendapatkan tempat tersebut, mengingak kesibukan para ayah yang lebih banyak di luar daripada di rumah, itu sebabnya ibu yang seharusnya selalu bisa memberikan kenyamanan lebih pada sang anak. Tanpa harus menyepelekan hal-hal kecil yang membuat anak merasa kekurangan kasih sayang dan perhatian.
♡♡♡♡
Lampung, 15 November 2018
Sekian dulu penjabaran tentang contoh outline dalam pembuatan cerpen versi Princess Meymey. Jika ada pertanyaan atau ada koreksian tentang ulasan di atas, mohon komen di kolom komentar.
CATATAN:
DILARANG MENJIPLAK KARYA CERPEN INI ATAU MENGAMBIL ALIH HAK CIPTA. JANGAN PERNAH JADI PLAGIATOR HANYA UNTUK MENDAPATKAN PUJIAN.
DILARANG MENJIPLAK KARYA CERPEN INI ATAU MENGAMBIL ALIH HAK CIPTA. JANGAN PERNAH JADI PLAGIATOR HANYA UNTUK MENDAPATKAN PUJIAN.
0 Response to "Pentingkah Membuat Outline Sebelum Menulis Cerpen?"
Posting Komentar