Diary Dua Musim: Keputusan yang Sulit
![]() |
Illustrasi by image Princess Meymey |
Haris masih terbayang dengan ucapan Gea yang
membuatnya menjadi berpikir keras atas perubahan sikap sahabatnya. Perubahan
itu terjadi sejak Haris dan Melisha sibuk dengan urusan mereka masing-masing,
sehingga bertemu pun tak setiap hari, seperti dulu.
"Aku tahu penyebabnya," ucap Haris yang berhasil
keluar dari lamunannya dan menganalisa permasalahan yang dihadapi. Haris
cepat-cepat menemui Gea di ruang peristirahatannya.
Tiba di kamar Anggrek nomor 12, Haris melihat Gea yang tengah
bercanda dengan Mayang beserta kedua orang tuanya. Sedangkan Melisha, tidak ada
di dalam ruangan tersebut. Entah sedang pergi ke mana. Haris berdehem. Semua
mata tertuju padanya. Gea menatap wajah Haris dengan tatapan heran.
Mayang menghampiri Haris dan bertanya seperti orang polos.
"Kamu batuk, Ris? Apa karena habis hujan-hujanan kemarin?"
"Emm, nggak kok! Aku baik-baik saja," jawab Haris
sambil melangkahkan kaki menghampiri kedua orang tua Gea. "Begini, Pak,
Bu, bolehkah aku bicara berdua saja dengan Gea?" pinta Haris sambil
menyatukan kedua telapak tangannya (bertepuk tangan seperti yang dilakukan
orang-orang kala memohon atau meminta maaf).
"Tentu saja boleh, Ris." Pak Raka mengizinkan permintaan
Haris dan mengajak istrinya serta Mayang keluar ruangan.
Setelah semuanya keluar, Haris mulai mendekati Gea. Gea tidak
ingin menatap wajah Haris. Haris mengutarakan jawaban yang didapatkan beberapa
menit yang lalu.
"Gea, maaf atas waktu yang tak lagi bisa kuberikan
untukmu. Bukan maksudku melupakanmu atau tidak lagi peduli. Akan tetapi,
pekerjaan sebagai fotografer yang membuat waktuku tersita untuk membatasi kebersamaan
kita. Aku tidak pernah ada niat untuk mengabaikan persahabatan kita. Bahkan Melisha
pun demikian, tidak mungkin dia bisa setiap hari pulang dari Jakarta ke Lampung
untuk menemui kita. Ayolah, jangan bersikap kekanak-kanakan seperti ini!
Maafkan aku, ya!"
Gea akhirnya menoleh dan menatap Haris. "Kenapa kamu bisa
berpikiran seperti itu?" Bukan menjawab, 'Iya, aku maafkan.' Gea justru
melontarkan pertanyaan dengan tatapan serius.
"Karena aku sadar, tiga bulan sejak kita lulus kuliah dan
meniti karir masing-masing, kita jarang sekali bertemu bahkan nyaris tidak lagi
bisa menyempatkan waktu untuk bermain seperti dulu." Haris merasa yakin
bahwa itulah alasan yang paling mendasar kenapa Gea marah kepadanya dan
Melisha.
Dengan hembusan napas panjang, Gea mulai mengakui salah satu
penyebab kemarahannya. Haris merasa lega atas pengakuan Gea. Akan tetapi, ada
sesuatu hal yang masih mengganjal dalam pikirannya, yaitu tentang sakit yang diderita
Gea.
"Aku memang emosional dan masih bersikap kekanak-kanakan,
tapi apa kalian tahu? Ada di mana kalian saat aku membutuhkan bantuan kala itu?
Di mana kalian ketika aku merasa rapuh dan butuh teman untuk menjadi pelipur
lara? Kalian pasti tidak tahu bahwa bulan lalu, aku juga dirawat di rumah
sakit! Entah mengapa, tubuh terasa lelah dan begitu lemas. Merasakan sakit
disekujur tubuh yang sangat luar biasa. Akan tetapi, semua orang tidak pernah
menjelaskan tentang sakit yang kurasa! Okelah, mereka tidak ingin membuat hati
ini terluka jika tahu penyakit apa yang kuderita. Tapi ...! Ahh,
entahlah!" jelas Gea dengan penuh amarah dan kecewa sambil memegang kepalanya
yang terasa sakit.
Haris mengambil air minum dan mencoba menenangkan hati Gea.
Gea meminum air tersebut, menarik napas dan beristigfar.
"Apa? Kamu masuk rumah sakit? Kenapa tidak ada yang
memberitahuku? Jujur, aku baru tahu ini darimu, Gea." Haris mencoba
meyakinkan Gea dan terus meminta maaf.
"Tidak tahu? Lalu Melisha yang sudah diberitahu oleh
Mayang, kenapa tidak bisa datang membesukku?!" bentak Gea.
Kedua orang tua Gea menangis dari balik pintu ketika mendengar
teriakan putri mereka. Pun dengan Mayang yang tidak tega melihat sahabatnya
begitu terluka.
"Maafkan kami, Gea," ucap Mayang di luar ruangan
sambil menitikkan air mata.
"Melisha tahu? Mungkin saja dia saat itu sedang sibuk,
bukan berarti tidak ingin menemuimu, Gea. Tolong, ma ...," ucapan Haris
terhenti kala mendengar ada yang membuka pintu.
"Melisha!" Haris dan Gea menyebut nama Melisha secara
bersamaan.
Melisha menghampiri kedua sahabatnya tersebut dan memegang
tangan Gea.
"Gea, aku sudah mendengar semuanya. Maaf beribu maaf bila
kala itu tak bisa membesukmu. Bukan tidak peduli akan sakit yang kamu derita,
bukan tak ingin menghibur, akan tetapi, waktu itu benar-benar tidak bisa
meninggalkan pekerjaanku. Kamu pasti memahaminya, kalau kita bekerja dengan
orang lain, tidak bisa seenaknya meminta izin pulang jika pekerjaan belum
selesai. Toleransi hanya bisa didapat kalau seandainya, kedua orang tua atau
kakak-adikku yang sakit. Maaf, Gea. Maafkan aku." Melisha memohon dengan
penuh harap. Pun memahami posisinya.
"Oke, aku maafkan kalian! Tapi, bisakah aku meminta
tolong untuk kali ini saja? Mungkin untuk terakhir kalinya." Ucapan Gea
membuat Haris dan Melisha terkejut dan mikir yang tidak-tidak. Sebab, ucapannya
seperti orang yang hidup-nya tidak akan lama lagi.
"Husst! Jangan bicara soal terakhir, Gea! Kamu ini
ngomong apa, sih!" Melisha menutup mulut Gea dengan tangan kanannya.
"Tahu, nih! Sudah, jangan bicara seperti orang me-ngigau
begitu. Mau minta tolong apa, Gea?" tanya Haris penasaran.
"Selama aku di rumah sakit, bisakah kalian ambil cuti
kerja untuk menemaniku di rumah sakit?" pinta Gea dengan mata berbinar.
Seketika hening. Haris yang notabene-nya bukan ber-asal dari orang yang kaya, harus bekerja
keras untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarga; menggantikan tanggung jawab
ayahnya yang telah tiada sekitar tiga tahun silam. Sedangkan Melisha, jika
harus mengambil cuti kerja selama minimal seminggu, bisa dipenuhi. Tapi jika
harus mengambil cuti yang entah sampai berapa harinya, rasanya berat. Sebab,
Melisha termasuk orang yang harus terus ada di kantor karena menjadi sekretaris
di perusahaan tempatnya bekerja. Kehadirannya sangat dibutuhkan perusahaan.
"Kenapa kalian diam? Pasti tidak mau kan memenuhi permintaanku?"
Gea menggelengkan kepala, merasa yakin atas ucapannya.
"Bukan begitu, Gea. Tapi bagaimana, ya!" jawab Haris
dengan penuh dilema.
"Bagaimana apanya? Tinggal jawab saja, bisa atau
tidak!" bentak Gea dengan nada tinggi.
"Gea! Tenanglah!" Melisha memegang bahu Gea, mencoba
menenangkan.
"Tenang?! Lalu, kamu bagaimana?" tanya Gea menatap
Melisha dengan mata berbinar, seakan ada harapan di bola matanya.
"Bisa beri waktu aku untuk memutuskannya? Paling tidak,
besok atau nanti malam lah!" pinta Melisha.
"Begitu juga denganku," ucap Haris.
"Oke! Nanti malam aku ingin mendengar jawabannya."
Gea mencoba merebahkan badan. Melisha dan Haris, dengan sigap membantu.
"Sekarang, waktu kamu beristirahat," ucap Melisha.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi
Gea untuk bisa memejamkan mata dan tertidur pulas. Melisha dan Haris meninggalkan
Gea sendirian. Mereka keluar ruangan, Pak Raka memeluk Haris dengan rasa
bersalah karena anaknya yang keras kepala, tidak mau memahami keadaan Haris.
Begitu juga dengan Ibu Tika yang memeluk Melisha. Air mata Mayang berlinang
melihat semua yang terjadi.
***
Malam harinya, Gea sudah menunggu jawaban dari kedua
sahabatnya. Entah apa tujuan Gea, karena kecewa tidak dibesuk saat dirawat di
rumah sakit satu bulan yang lalu, hatinya menjadi keras. Padahal Gea tahu
kondisi Melisha yang tidak mungkin bisa meninggalkan pekerjaan demi memenuhi
permintaannya. Apalagi Haris yang jika tidak bekerja, maka bagaimana bisa Haris
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Hari ini jadwal pemeriksaan rutin Gea oleh dokter ahli. Gea
masih tidak diberitahu tentang penyakit yang diderita. Dokter mengatakan, kalau
Gea harus segera dioperasi. Sekujur tubuh semua orang terasa lemas, terutama
kedua orang tua Gea. Remuk sudah jantung seorang ibu yang tidak tega dengan kondisi
anaknya. Ketiga sahabat Gea menatap Gea dengan mata berkaca-kaca.
"Kalian kenapa menatapku seakan aku akan pergi jauh
seperti itu?" tanya Gea, heran.
"Emm, nggak ada apa-apa kok, Gea sayang." Pak Raka
duduk di samping Gea, membelai rambut putri kesayangannya. Sedangkan Bu Tika,
duduk di kursi, tak sanggup berdiri karena kaki terasa kaku untuk bergerak.
"Oh iya, Yah, Bu, May, bisa tinggalkan kami bertiga lagi?
Aku, Melisha dan Haris," pinta Gea.
Kedua orang tua Gea dan Mayang mengangguk dan meninggalkan
ruangan.
"Sekarang kalian pasti sudah menyiapkan jawabannya. Jadi,
apa keputusan kalian?" tanya Gea.
Haris dan Melisha saling menatap, seakan bertengkar siapa yang
lebih dulu memberikan jawaban.
"Hei! Kenapa kalian malah saling tatap-tatapan seperti itu?
Aku perhatikan, kalian ini sering banget tatap-tatapan. Jangan-jangan kalian
ada rasa lagi. Rasa ingin memiliki gitu." Tawa Gea membuat Haris dan
Melisha tersenyum bahagia. "Lah, sekarang malah senyum-senyum nggak jelas
gitu! Mau kalian apa coba?" Gea melontarkan pertanyaan kembali dengan
menahan perutnya yang terasa geli karena melihat tingkah laku kedua sahabatnya.
"Mau kamu sembuh, Gea," ucap Melisha dan memeluk sahabatnya
itu.
"Aku senang melihat kamu tertawa lepas seperti ini,
Gea," ucap Haris.
"Kenapa jadi buat drama melebihi drama Korea, sih!"
ucap Gea, memajukan bibirnya. "Jadi, bagaimana dengan permintaanku
tadi?" Gea lanjut bertanya.
Dengan menutup mata sejenak sambil mengembuskan napas berat,
Melisha memberikan jawaban. "Gea, karierku sangatlah penting. Kamu pun
jauh lebih penting daripada karierku, tapi permintaanmu itu benar-benar berat
untuk dipenuhi. Aku masih dilema akan keputusan yang sulit ini."
"Apalagi aku, benar-benar dibuat dilema oleh permintaan
Gea. Kamu tahu betul bagaimana kondisi ekonomiku. Menjadi tulang punggung
keluarga itu sungguh berat. Jika harus cuti demi menemanimu, maka keluargaku
mau makan apa? Meskipun ayahmu sering membantu keluargaku, lantas kami harus
bersikap menjadi parasit, begitu? Tidak, Gea! Ah, kamu benar-benar membuatku
memutuskan hal yang sulit!" Haris menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
terasa gatal.
"Baiklah, dari penjelasan kalian, aku sudah tahu jawabannya,"
ucap Gea, merasa yakin dan sedikit kecewa.
"Bukan begitu, Gea," ucap Haris.
"Sudahlah, aku mau beristirahat!" ucap Gea. Secara
tidak langsung, mengusir Haris dan Melisha.
Gea memejamkan matanya. Haris dan Melisha seketika tertunduk
dan jatuh ke lantai. Gea mendengar suara kecil dan melihat ke bawah, ada Haris
dan Melisha yang sedang berada dalam dilema. Entah apa yang membuat Gea menjadi
egois dan tidak memahami kedua sahabatnya itu.
Haris berdiri, disusul dengan Melisha. Karena rasa sayang
mereka kepada Gea, akhirnya Melisha dan Haris memutuskan untuk menerima
permintaan Gea. Untuk Haris, ada Pak Raka yang sudah bersedia memberikan
kebutuhan keluarga Haris sepenuhnya, selama Haris menjaga Gea. Sedangkan
Melisha, benar-benar keputusan sulit yang harus diambil. Melisha harus bersedia
kehilangan pekerjaan demi memenuhi permintaan sahabatnya.
Gea menjadi tidak tega melihat rawut muka Melisha yang harus
merelakan karier demi dirinya. Penglihatan Gea menjadi gelap. Kemudian, semua
berteriak dengan rasa takut dan panik.
"Gea ...! Gea ...! Bangun ...!"
Gea kembali tak sadarkan diri. Tangisan pecah dan tak bisa
dibendung lagi. Ibu Gea pingsan melihat anaknya kembali koma. Pak Raka bingung
harus bersama Gea atau istrinya, karena keduanya sangat membutuhkan Pak Raka.
Gea dibawa ke ruang ICU. Sedangkan Bu Tika sedang diperiksa dokter lain agar
sadarkan diri. Melisha dan Mayang berpelukan dengan deraian air mata. Haris
duduk di kursi dengan linangan air mata yang tak bisa dihentikan.
Ketika kehidupan harus memilih, semua orang akan mengalami
dilema dengan keputusan yang harus diambil. Ketika keputusan yang diambil bisa
membuat orang lain bahagia, mungkin itulah jalan terbaik yang harus diambil
meski harus ada yang dikorbankan.
Kenapa Gea koma kembali? Sebenarnya Gea mengidap penyakit apa, sih? Lalu, bagaimana kisah selanjutnya tentang persahabatan Gea, Melisha, Haris dan Mayang? Bagaimana dengan kedua orang tua Gea? Sanggupkah mereka menghadapi semua ujian ini?[]
Catatan : Jika ada persamaan baik tokoh maupun isi cerita, mohon maaf karena ini hanya kisah fiktif belaka. Gambar pun hanya sebagai illustrasi pendukung cerita. Terima kasih sudah mampir di situs sederhana Princess Meymey, semoga ceritanya menginspirasi.
0 Response to "Diary Dua Musim: Keputusan yang Sulit"
Posting Komentar