-->

Diary Dua Musim : Antara Ada dan Tiada

Illustrasi by image Princess Meymey

Ruang ICU adalah ruangan yang paling menyeramkan bagi orang-orang. Bagaimana, tidak? Nyawa seseorang sedang dipertaruhkan di dalam ruangan yang begitu sesak itu. Tidak ada yang ingin memasuki ruangan yang sangat menyeramkan tersebut, tapi seringkali keadaan yang memaksa untuk pasrah.

Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB, tak terasa hampir tengah malam, dokter masih memeriksa keadaan Gea di ruang ICU. Sementara, ayah  Gea sedang menguatkan hati istrinya di ruang lain. Dan ketiga sahabat Gea sedang sibuk menunggu di luar ruang ICU sambil mendoakan kesembuhan Gea.

Tidak lama kemudian, dokter keluar ruangan.

“Maaf, bisakah kalian membantu saya untuk memanggil ayah Gea dan meminta beliau untuk segera pergi ke ruangan saya? Ada hal penting yang harus dibicarakan dan tidak bisa ditunda lagi.” Dokter langsung buru-buru ke ruangannya, begitu pun dengan suster yang tengah sibuk untuk mempersiapkan pengobatan Gea lebih lanjut.

Ketiga sahabat Gea menjawab dengan kompak, “Bisa, Dok!”

Haris dengan langkah cepat, menuju ruangan di mana ibunya Gea dirawat karena harus beristirahat sejenak agar tidak terlalu lelah. Meski tidak bisa dipungkiri, pikiran terus dipenuhi rasa cemas dan saat ini hati benar-benar hancur.

Dengan napas memburu seperti orang sedang lomba lari, Haris akhirnya sampai di ruangan dan bertemu Pak Raka. Haris diminta menggantikan Pak Raka untuk menjaga Bu Tika dan pria paruh baya itu pun langsung menuju ruangan dokter dengan berjalan terburu-buru sampai menabrak orang-orang yang sedang lewat di sana.

Tiba di depan pintu ruang dokter, Pak Raka mengetuk pintu dan dipersilakan masuk oleh dokter.

Perbincangan yang benar-benar serius antara Pak Raka dan dokter membawa Pak Raka menjadi menitikkan air mata. Sambil memegang pulpen, tangannya gemetar ketika membaca isi kertas perjanjian yang ada dihadapannya. Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Pak Raka akhirnya menandatangani perjanjian tersebut.

Menurut Permenkes nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran (untuk selanjutnya disebut sebagai Permenkes PTK), Pasal 1 ayat (1):  yang dimaksud dengan ‘persetujuan tindakan kedokteran’ adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.

Bahasan tentang persetujuan tindakan kedokteran meliputi: mengapa perlu ada persetujuan untuk tindakan kedokteran, proses melakukan persetujuan tindakan kedokteran, aspek hukum persetujuan tindakan kedokteran, dan mengapa perlu ada persetujuan untuk tindakan kedokteran.

Indonesia memiliki konsep sebagai welfare state (negara kesejahteraan), yang mana pada konsep tersebut tidak ada satu sisi dalam kehidupan masyarakat yang tanpa adanya campur tangan pemerintah (from the cradle to the grave). Untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut, maka pemerintah berkewajiban memenuhi hak dasar rakyatnya, melalui kewenangan pemerintah untuk mengatur melalui perangkat hukum yang ada.

Persetujuan tindakan kedokteran adalah amanat dari Permenkes nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran  yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45.

Permenkes PTK Pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Peraturan ini merupakan representasi dari upaya negara untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dokter yang memungkinkan timbulnya pelanggaran hak asasi pasien.

***

Dokter menanyakan kepada suster untuk persiapan operasi. Kemudian, mereka semua langsung menuju ruang ICU dan memindahkan Gea ke ruang operasi.

Di dalam ruang operasi, Gea seperti antara ada dan tiada, hidup tapi seperti mati. Pun dengan ibu Gea yang terus menangis histeris dengan fakta yang harus diterima.

Dalam hidup, kita tidak tahu bagaimana yang terjadi ke depannya. Ibarat kata, orang miskin tidak pernah meminta dilahirkan sebagai orang miskin. Orang kaya tidak pernah meminta untuk dilahirkan menjadi kaya raya. Orang yang (maaf) memiliki kebutuhan khusus pun tidak pernah me-minta dilahirkan memiliki kekurangan seperti itu.

Semua orang ingin terlahir sempurna, tapi kita jangan pernah lupa bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala.

Di ruangan lain, ibunya Gea meminta Haris untuk mengantarnya ke ruang operasi untuk menunggu selama anaknya dioperasi. Tapi Haris menahan dan meminta perempuan paruh baya itu tetap beristirahat karena tensi darah yang cukup rendah.

Tidak lama kemudian, Pak Raka datang dan meminta Haris untuk kembali menunggu di luar ruang operasi bersama Mayang dan Melisha. Ketiga sahabat Gea selalu setia menemani dan mendoakan.

Tak terasa sudah pukul 01.30 WIB, mereka masih terjaga walau akhirnya tertidur sejenak. Begitu juga dengan kedua orang tua Gea yang tidur di kamar Mawar nomor 09.

Sejauh ini, yang tahu secara detail tentang penyakit Gea hanyalah kedua orang tuanya dan Mayang, selain itu—sahabat atau keluarga Gea yang lain tidak ada yang tahu. Bahkan Gea sendiri tidak pernah tahu apa yang menyebabkan dirinya selalu terbaring di rumah sakit.

***

Lantunan ayat suci al-qur’an mulai terdengar. Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB. Semua orang bergegas untuk melaksanakan salat subuh.

Pak Raka meninggalkan sang istri untuk pergi ke musala. Ibu Gea masih tertidur karena pengaruh obat bius yang diberikan dua jam lalu. Kebetulan Mayang dan Melisha sedang tidak bisa melaksanakan salat karena sedang menjalankan kodrat sebagai perempuan. Haris pergi ke musala bersama Pak Raka.

Beberapa menit kemudian, suara azan menggema. Petugas-petugas dan keluarga pasien mengambil air wudu dan setelahnya, melaksanakan salat subuh berjamaah.

Di depan ruang operasi, Mayang dan Melisha masih terjaga. Menunggu Gea yang masih di tangani dokter. Patient monitor[1] menunjukkan keadaan Gea masih kritis. Dokter terus berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan tugasnya.

Tiba-tiba, detak jantung Gea berhenti. Dokter mengguncang tubuh Gea dengan alat medis sambil melihat layar monitor yang menyatakan kondisi Gea seakan sudah berada di ujung maut.

Satu jam kemudian, Pak Raka datang bersama Haris untuk mengetahui keadaan Gea. Dokter keluar ruangan dengan rasa bersalah.

“Tegarkan hati Anda, Pak! Cobalah untuk ikhlas,” ucap dokter sambil memegang bahu Pak Raka.

“Maksud dokter apa?” Pak Raka langsung lemas. Bibir gemetar sambil bertanya lagi, “Nyawa anak saya tidak bisa ditolong gitu?” Kedua tangan Pak Raka memegang kedua bahu dokter.

“Pak, maafkan saya. Kami sudah berusaha keras untuk menyelamatkan hidup Gea, tapi Allah berkehendak lain.”

Haris yang tak percaya dengan ucapan dokter langsung masuk ke ruang operasi dan membuka kain yang sudah menutupi wajah Gea.

“Gea! Aku sudah memenuhi keinginanmu untuk tetap berada di sini, tapi kenapa kamu justru pergi meninggalkan kami?! Tidak, Gea! Kamu pasti sedang bercanda, kan? Dan untuk membuat aktingmu berhasil, dokter pun kamu libatkan dalam sandiwara ini! Bangun, Gea! Bangun ...!” pekik Haris yang terdengar jelas di luar ruangan.

Pak Raka benar-benar bingung, apa yang harus dikatakan kepada istrinya. Anak semata wayang mereka harus pergi begitu saja meninggalkan kenangan yang tidak bisa terlupakan.

***

Setiap yang bernyawa, pasti akan mati atas izin-Nya. Tidak ada yang mampu menentukan kapan dan dengan cara apa kematiannya datang. Sebab semua itu merupakan ketetapan yang hanya diketahui oleh Allah sebagai penciptanya.

 

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (QS. Ali Imran : 145)

 

Mayang dan Melisha tak sanggup lagi berkata, hanya deraian air mata yang mewakili perasaan mereka saat ini. Mendengar teriakan Haris, membuat batin mereka semakin terpukul.

Dengan langkah gontai, Pak Raka berusaha menguatkan hati menuju ruangan istrinya dirawat. Saat itu, istrinya sudah mengetahui apa yang terjadi pada Gea dari salah satu perawat yang hendak memeriksanya.

Bu Tika langsung mencabut paksa jarum yang berada di pergelangan tangan kanannya. Pak Raka yang melihat semua itu, langsung meminta istrinya untuk tenang.

“Tolong, kali ini jangan hentikan aku!” pinta Bu Tika.

Pak Raka tidak sanggup berkata-kata lagi. Memapah istrinya untuk menemui Gea terakhir kali.

Suara bising rumah sakit dan bau obat-obatan menjadi makanan sehari-hari mereka selama berada di rumah sakit.

Tiba di ruang operasi, Haris masih kekeh, menurutnya Gea masih hidup. Begitu juga dengan ibunya Gea. Bu Tika memegang tangan Gea sambil menceritakan momen kebersamaan mereka. Potret masa lalu pun terputar kembali ketika Gea masih kecil.

Dengan deraian air mata, Haris ikut bercerita tentang kenakalan mereka di masa kanak-kanak. Yang pada akhirnya, jari-jari Gea bergerak sedikit.

Ibu Gea yang merasakan itu langsung tersenyum, seakan ada cahaya yang datang menyelamatkan mereka dari kegelapan. Semoga cahaya itu tak datang sesaat.

“Lihat, Haris! Ibu merasakan gerakan dari jari Gea. Itu artinya, Gea masih bisa diselamatkan.”

“Benarkah, Bu?” Haris ikut senang dan berusaha keras untuk membuat Gea sadar.

“Oh, iya! Cepat! Panggilkan dokter untuk memeriksa Gea!”

Mendengar percakapan istrinya bersama Haris, Pak Raka pun langsung masuk ke ruang operasi. Dokter kembali memeriksa keadaan Gea dan mengatakan kalau Gea sudah melewati masa kritisnya, tapi dia masih koma.

“Mungkin saat ini Gea mendengar semua ucapan kita, tapi matanya masih saja tertutup,” terang dokter.[]


[1] Patient monitor (pasien monitor) adalah suatu alat yang difungsikan untuk memonitor kondisi fisiologis pasien. Di mana proses monitoring tersebut dilakukan secara real-time, sehingga dapat diketahui kondisi fisiologis pasien pada saat itu juga.

Catatan : Jika ada persamaan baik tokoh maupun isi cerita, mohon maaf karena ini hanya kisah fiktif belaka. Gambar pun hanya sebagai illustrasi pendukung cerita. Terima kasih sudah mampir di situs sederhana Princess Meymey, semoga ceritanya menginspirasi.

Baca cerita sebelumnya di sini.

0 Response to "Diary Dua Musim : Antara Ada dan Tiada"

Posting Komentar