-->

Resensi Buku Alangkah Indah Luka Itu


Penulis : Syaiful IrbaTanpaka
Peresensi : Irma Dewi Meilinda
Judul : Alangkah Indah Luka Itu
Penyelia Aksara : Isbedy Stiawan ZS
Sampul : Arya Winanda & Tim Kreatif Siger Publisher
Tata Letak : Arya Winanda
Penerbit : Siger Publisher
Ukuran/Hal : 140 x 210 mm / xiv + 170 hlm
ISBN : 978-602-61720-4-4

BLURB

Syaif Irba Tanpaka, lahir di Teluk Betung, Bandar Lampung, pada tanggal 9 Des 1961. Buku puisi tunggalnya, yaitu Mata-Mata (CIA, 1984), Buku Puisi (Aura Press, 1996), Karena Bola Matamu (Buku POP, 2007). Dua manuskrip kumpulan puisinya—dihimpun dari puisi-puisi yang diterbitkan di koran dalam kurun waktu 5 th (2002-2007)—terbit di Siger Publisher, 2018 dengan judul Situs Urban & Dalam Gemerlap Cahaya (Sehimpun Puisi Islami).

Kumpulan cerita anak: "Bengkel Buyung (Mitra Bocah Muslim: Jogjakarta, 2007), kumcer Dunia yang Tidak Pernah Menjadi Tua (Siger Publisher, 2013). Di samping itu, karya-karya puisinya banyak terdapat dalam antologi puisi bersama penyair Indonesia, di antaranya: Kota Kembar (bersama Isbedy Stiawan ZS), Jung, Sang Penyair, Cerita dari Hutan Bakau, Puisi-Puisi dari Pulau Andalas, Lampung Kenangan, Festival Mei, dll. Lalu, Puisi Indonesia 87 (2014, editor Remmy Novaris DM). Cerpen-cerpen yang diterbitkan di koran dalam kurun waktu 3 th (2014-2017), dihimpun dalam kumcer Alangkah Indah Luka Itu.

Membaca 15 cerpen Syaiful Irba Tanpaka dalam buku ini, seperti berputar-putar dalam poros "dunia". Lalu mengangkasa: terbang-terbang dan menari-nari. Ada gadis pemetik biola, gadis di tepi pantai dengan dua lelaki, muli sikop, bidadari, malaikat, pelangi, mimpi dan ah, Kaulah, Tuhanku!

RESENSI OLEH IDM

Baru baca halaman awal saja, sudah merasa takjub sama Om Syaiful Irba Tanpaka. Mengingatkanku akan perjuangan dari zaman baheula—kliping karya orang lain—buat bahan referensi. Sampai sekarang masih ada itu cerpen atau puisi orang lain yang aku jadikan kliping pada satu buku. Ngumpulinnya dari zaman masih cilik banget. Entah berapa tahun, yang jelas dari TK. Aku TK tahun 1998-1999.

Pas bagian 'nenek', jadi inget almarhum nenek Djamilah. Beliau suka banget berpantun dan dongeng. Ceramah mah jangan ditanya.

Pada cerita "Gadis yang Memainkan Biola di Bawah Purnama" ini mengisahkan tentang kebolehannya yang telah lama ditinggalkan. Mimpi seakan lenyap bersama luka karena cinta dan nafsu yang ada dalam diri gadis bernama Purnama.

Rindu! Memori ingatannya berputar kala sedang memainkan biola. Entah kapan terakhir kali memainkan biola, dia pun lupa. Yang jelas, saat ini dia sedang menikmati luka dari kisah masa lalu. Purnama merenungi—ingin melupa—hingga terus berpikir; mencari jawaban atas tanda tanya yang mengelilingi kepalanya.

Ruh dalam tulisannya ada, hingga aku (pembaca) seakan sedang berhadapan langsung dengan tokoh yang ada dalam cerita tersebut. Overall, alurnya tidak bertele-tele dan tentu ada pesan moralnya. Cerita yang bagus! Itu sebabnya, aku terus membuka halaman berikutnya, hingga nanti bertemu halaman terakhir dari cerita pada buku "Alangkah Indah Luka Itu."

Masuk pada bagian "Warahan Meranai Tuha" ini seakan lagi baca cerita legenda seperti SANGKURIANG. Legenda yang berkisah tentang terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul. Bedanya, pada cerita "Warahan Meranai Tuha" ini adalah menceritakan tentang "Gunung Pesagi". Cerita yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Lampung. Saya menemukan kosa kata baru yang memang asing (belum pernah membaca/mendengarnya).

Tiap lembar pada halaman yang kubuka, banyak luka yang kudapati dalam setiap alurnya. Dan kali ini, masuk pada bagian cerita "April Mengajak Pergi ke Bulan", tepat pada halaman 27 tentang PENGHUNI DI BULAN; mengingatkanku pada sosok yang selalu kucinta meski raganya telah pergi; nenek Djamilah (ibu dari ayahku).

Pada cerita ini, ada pesan tersirat di balik kata 'BULAN'. Jika hanya membaca judul, pembaca akan bermacam-macam menelaah maksud dari kata 'NEGERI BULAN'. Apakah bulan yang terlihat di langit, bulan dalam kalender atau yang mana? Aku pun kali pertama membaca halaman awal pada bab ini, mengira kalau bulan yang di maksud adalah bulan di langit.

Terlepas dari kata bulan, cerita ini mengajarkan kita bagaimana menjaga diri yang memang sudah kotor dari orang yang (ingin) memberikan noda (lagi) pada kehidupan yang dikatakan bersih. Mengingatkan tentang dosa bahkan kiamat.

Semestinya, cinta selalu punya ruang dalam kesibukan-kesibukan sepadat apa pun. Cinta selalu punya sayap untuk menempuh jarak sejauh apa pun. Cinta selalu punya magma untuk meledakkan diri dari himpitan gunung sebesar apa pun. Kau tahu itu. (Hal : 44 Pembunuh Kerinduan)

Bagian ini salah satu cerpen yang menusuk hati. Dari semua luka yang ditabur ke dalam cerpen pada buku Alangkah Indah Luka Itu, cerpen Pembunuh Kerinduan mengingatkanku tentang episode yang kulalui seperti yang terjadi pada cerpen tersebut. Ruh dalam cerpennya memang TOP BGT! Alurnya juga bisa dipahami dengan baik.

Yakin, seperti saya yang tak sabar, ingin melahap buku ini sampai habis ketika pertualangan pada kisah Alangkah Indah Luka Itu, kalian juga pasti akan merasakan hal yang sama, karena banyak pesan moral yang didapat. Rekomen banget untuk teman-teman yang hobi membaca.

Overall, alur cerita, diksi, penokohan, semuanya disuguhkan begitu apik. Penulis atau penyair yang sudah diakui sebagai penyair Indonesia ini memang pintar sekali membuat emosi pembaca bergejolak. Terus ingin membaca karya-karyanya yang dilahirkan. Sukses terus untuk Om Syaiful Irba Tanpaka.

0 Response to "Resensi Buku Alangkah Indah Luka Itu"

Posting Komentar