-->

Cerpen Memburu Waktu

Ilustrator by canva

Di sebuah kota yang sangat jarang terjadinya macet, entah mengapa hari ini jalanan ramai seperti orang ingin demo atau antre berebut sembako. Remaja berusia empat belas tahun yang sudah berusaha untuk datang tepat waktu ke sekolahan, jadi terhambat karena menunggu kendaraan di depannya melaju. Sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 07.10 WIB, artinya lima menit lagi upacara akan dimulai, jantung terus berdebar seperti menunggu pengumuman kelulusan sekolah.

"Arrgh! Terlambat!" bentak seorang anak remaja perempuan itu sambil melihat lampu lalu lintas yang masih berwarna merah.

Tidak lama kemudian, lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Artinya kendaraan sudah diperbolehkan melaju ke arah tujuan masing-masing. Remaja dengan rambut tergerai berwarna hitam itu menepuk pundak seorang laki-laki yang memboncengnya. Laki-laki paruh baya itu pun memahami kode yang diberikan kepadanya agar segera melaju ke sekolah.

Suara klakson kendaraan beroda dua ataupun empat terus bersahutan. Dia tak peduli dengan suara bising itu karena yang ada dipikirannya adalah cepat sampai di sekolah yang tidak jauh dari perempatan lampu merah tadi.

Tiba di sekolah, remaja perempuan yang kerap disapa Lina itu merogoh kantong sakunya dan memberikan selembar uang kertas lima ribu rupiah kepada laki-laki paruh baya tersebut. Kemudian dia langsung membalikkan badan menuju gerbang sekolah dengan tergesa-gesa. Terlihat sekali dari rawut wajahnya yang mengerutkan dahi dan terus melihat arlogi di tangan kanannya bahwa dia khawatir upacara telah dimulai. Pikirannya pun tak karuan, ditambah penjaga pintu gerbang sekolah yang memberikannya sarapan dengan tatapan menyeramkan seakan ingin menerkam.

Mengingat pesan ibu tercinta bahwa harus tenang dalam kondisi apa pun. Dia mengembuskan napas pendek dan menyapa penjaga tersebut dengan melemparkan senyum yang membentuk bulan sabit di malam hari.

"Selamat pagi, Pak!" sapanya.

"Iya. Pagi juga. Ayo, cepat masuk, sebentar lagi upacara akan dimulai!" jawab Pak Budi yang memburu langkah Lina.

Lina terus berlari-lari kecil seperti jamaah haji yang hendak melakukan sa'i.

Dari kejauhan, samar-samar terdengar suara mikrofon yang dinyalakan dan juga siswa/siswi yang sedang menertibkan barisan.

"Huft! Belum dimulai!" soraknya dalam hati.

Dia berlari menuju kelas, menaruh tasnya. Sementara mata dan telinganya tidak awas memerhatikan upacara yang akan dimulai.

Mikrofon terdengar berdenging. Kemudian, sayup-sayup terdengar intruksi baris-berbaris yang diatur oleh Pembina Upacara lewat mikrofon sebatang. Suara itu tak bertempo jelas, antara kemarahan dan ketegasan. Sejenak, timbul kesunyian saat suara itu mengeluarkan hentakan terakhir. Napasnya berburu mengatur 1.200 siswa di lapangan upacara.

Upacara berlangsung dengan khitmat, semua orang menyimak dengan serius kata demi kata yang diucapkan oleh Pembina Upacara. Sampai akhirnya, upacara selesai pukul 08.00 WIB. Semua peserta upacara pun kembali ke kelas masing-masing.

***

Tiba di kelas, sebelum guru masuk Lina melihat teman sebangkunya sangat murung. Karena penasaran, Lina menanyakan kondisi temannya tersebut.

"Della, ada apa? Kenapa kamu terlihat murung?"

"Ibuku sedang sakit dan memerlukan pengobatan dengan biaya yang cukup mahal. Sedangkan aku tidak punya uang sebanyak itu," ungkap Della.

"Memangnya membutuhkan biaya berapa?" tanya Lina dengan tatapan serius.

"Untuk saat ini membutuhkan biaya lima juta rupiah." Tampak ada beban yang luar biasa dari ekspresi wajah Della.

Belum sempat bertanya lebih lanjut, Pak Edi sudah masuk kelas. Seketika suasana di kelas menjadi hening. Kemudian, ramai kembali saat guru Bahasa Indonesia itu menyapa.

"Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Selamat pagi anak-anakku." Pak Edi duduk di bangku tunggal (paling depan) yang dekat dengan papan tulis sambil menyiapkan alat mengajarnya.

"Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh. Selamat pagi, Pak Edi ...!" jawab siswa-siswi kelas IX.2 serentak.

"Nah, sebelum memulai pelajaran, ada baiknya kita berdoa terlebih dahulu, ya! Ayo ketua kelas, silakan pimpin doa!"

Selesai berdoa, Pak Edi pun mulai menjelaskan materi yang akan dipelajari hari ini. Satu jam kemudian, bel istirahat berbunyi.

"Oke, anak-anak, sampai di sini ada yang ingin ditanyakan?"

"Tidak, Pak ...!" jawab anak-anak serentak.

"Oke, cukup! Karena waktu belajar sudah selesai, bapak rasa cukup sampai di sini saja, lain kali kita sambung lagi. Bapak akhiri, wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh."

"Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh." Pak Edi meninggalkan ruang kelas dan kembali ke kantor.

Anak-anak pun mulai berbondong-bondong keluar kelas untuk mengisi perut yang sudah sejak tadi minta diisi, meninggalkan Lina dan Della yang masih di tempat duduknya. Setelah kelas dirasa sudah sepi, Lina pun melanjutkan obrolan yang tadi sempat tertunda.

"Oh iya, mengenai permasalahanmu tadi, memangnya ibumu sakit apa?" tanya Lina.

Air mata yang tadinya diseka, tiba-tiba menetes dan membasahi pipi Della. Lina berusaha menenangkan teman sebangkunya itu sambil berkata, "Maaf ya, kalau aku banyak bertanya," ucap Lina penuh sesal.

Della mengembuskan napas panjang sambil menghapus air matanya dengan tisu. Lalu berkata, "Kata dokter, ibuku terkena penyakit maagh kronis. Itu pun lima juta cuma untuk biaya administrasi dan biaya penanganan sementara saja. Belum biaya operasi dan lain-lain."

Mendengar hal itu, Lina menjadi iba dan menenangkan Della dengan menepuk-nepuk punggungnya.

Jam pelajaran sekolah telah usai, semua siswa dan guru, satu per satu meninggalkan sekolah dan pulang ke rumah masing-masing, kecuali Della yang langsung menuju rumah sakit; tempat ibunya dirawat. Kebetulan rumah sakitnya tidak jauh dari sekolah. Itu sebabnya Della memilih berjalan kaki agar uang ongkosnya bisa ditabung untuk menambahkan biaya pengobatan sang ibu.

Tiba di rumah sakit, Della tak kuasa menahan tangis ketika melihat ibunya terbaring lemas. Di tempat lain, Lina menceritakan keluhan sahabatnya (Della) kepada ibunya. Hingga akhirnya, orang tua Lina berinisiatif untuk membiayai semua biaya yang dibutuhkan Della untuk kesembuhan ibunda tercinta.

***

Keesokan harinya, Della yang sedang tidur di sofa dibangunkan oleh suster.

"Della! Ibu kamu akan dipindahkan ke ruang operasi."

Della sontak terkejut mendengar pernyataan suster. Dia bertanya-tanya, kenapa ibunya bisa dioperasi, sedangkan sampai saat ini dia belum juga mendapatkan uang untuk membayar semuanya.

"O-operasi, Sus?" tanya Della terbata-bata. Antara senang dan bingung, perasaannya menjadi campur aduk.

"Iya. Ibumu akan dioperasi hari ini," jawab suster sambil mempersiapkan ibunya Della ke ruang operasi.

Della masih bingung dan melamun sesaat. Pikirannya berlarian. Hingga buyar dengan suara yang tak asing di telinganya.

"Biaya rumah sakit akan ditanggung oleh papaku, Della." Ya! Siapa lagi kalau bukan malaikat kecil yang penuh rasa simpati dan suka menolong semua orang tanpa melihat suku, ras, agama, atau lainnya. Lina Permata Utami Putri adalah anak tunggal dari pasangan Hadi Siswanto dan Heni Oktarani. Remaja berkulit putih dan bermata sipit itu adalah keturunan Jawa dan Cina. Ayah yang berdarah kental Jawa dan ibu adalah seorang mualaf berdarah Cina yang dulunya beragama Budha. Masuk Islam setelah menikah dengan ayahnya.

Della beranjak dari sofa dan memeluk Della dengan erat. Dia tak bisa menjelaskan bagaimana cara berterima masih kepada keluarga Lina. Dia pun mencium tangan kedua orang tua Lina yang sedari tadi berdiri di hadapannya.

"Kamu tidak perlu khawatir dan jangan bersedih lagi, ya! Simpan air matamu untuk kesembuhan ibu nanti." Lina mengusap air mata Della. Mereka pun meninggalkan ruangan, menuju ruang operasi. Ibu Della sudah siap menjalankan operasi setelah setengah bulan Della hampir putus asa dengan kesehatan ibunya.

"Terima kasih banyak, Om, Tante, dan juga Lina. Kalian sangat baik kepadaku meskipun kita berbeda keyakinan." Della sangat bahagia. Tubuh yang tadinya layu dan hampir mati bagai tanaman tidak disiram beberapa hari, kini menjadi segar kembali.

"Sama-sama, Della. Kamu sudah seperti anak kami. Jadi, tidak perlu sungkan untuk berbagi kisah hidupmu kepada kami. Ungkapkan saja keluh-kesahmu. Jangan simpan itu sendirian." Mamanya Lina memeluk dan mencium kening Della.

"Uhuk! Sepertinya posisiku akan tersaingi, nih!" ucap Lina dengan candaan.

Semua tertawa dan mereka pun berdoa untuk kesembuhan Suci (ibunya Della).

Dua jam kemudian, operasi selesai. Ibu Suci masih tidak sadarkan diri. Dokter dan suster yang menanganinya, keluar ruangan dan menemui Della, Lina dan kedua orang tuanya Lina.

"Saat ini Ibu Suci masih terbawa obat bius sehingga belum sadarkan diri. Biarkan dia istirahat sejenak," terang dokter. "Pak Hadi! Bisa kita berbicara sebentar. Ada yang perlu saya jelaskan mengenai kondisi Ibu Suci setelah melakukan operasi," lanjutnya.

"Baik, Dok!" ucap Pak Hadi, berjalan mengikuti dokter.

Lina dan Bu Heni menenangkan Della. Sedangkan Pak Hadi nampak serius mendengarkan keterangan dokter.

Tidak lama kemudian, terdengar jelas bahwa Ibu Suci memanggil-manggil nama Della. Remaja dengan rambut ikal itu langsung masuk ke ruang operasi. Lina memanggil suster.

"Ibu! Ibu sudah sadar?" tanya Della dengan mata berkaca-kaca. Dia mencium kening sang ibu sambil menggenggam erat tangan bidadarinya itu. Sejak ayahnya meninggal dunia ketika dia masih berusia empat tahun, Della hanya memiliki ibunya yang begitu tegar menghadapi hiruk-pikuk kehidupan dan mengambil tanggung jawab sang suami dalam mencari nafkah.

Bagi Suci, menjadi orang tua tunggal, berperan sebagai sosok ibu dan tulang punggung keluarga tidaklah mudah. Apalagi ditinggal suami saat anaknya masih butuh sosok ayah. Namun, hatinya begitu kuat dan semangatnya yang tinggi, membuat wanita berusia tiga puluh lima tahun itu tidak putus asa. Dia bekerja sebagai penjahit untuk mencukupi kehidupannya bersama anak tercinta.

Seiring berjalannya waktu, hingga Della beranjak remaja, usaha jahit Suci berkembang pesat. Hingga dia tidak lagi mengerjakan pekerjaan itu sendirian. Dia mempekerjakan beberapa pegawai untuk membantunya. Suci pun membuka toko butik untuk memasarkan produk-produk hasil jahitan tersebut. Sampai tiba saatnya, ternyata kondisi kesehatan Suci terganggu. Berawal dari makan dan istirahat yang tidak teratur, Suci jadi memiliki penyakit kronis. Hal ini disembunyikan dari sang buah hati (Della) demi menjaga kesehatan mental sang anak. Dia pun tidak ingin anaknya kehilangan konsentrasi dalam belajar. Walau pada akhirnya, waktu yang mengungkap rahasia yang selama ini dipendam.

Kini, berkat bantuan dari orang tua Lina, kesehatan Bu Suci jadi lebih baik. Della meminta ibunya untuk berhenti bekerja. Biarkan dia dan karyawannya saja yang mengurus usaha yang dirintis sepeninggalan ayahnya. Dengan terpaksa, ibunya membiarkan anak semata wayangnya itu melakukan apa yang diinginkan selagi tidak mengganggu pelajarannya di sekolah.

Kalianda,10 Juni 2021
Author : Aira Aulia Yunnisa
Editor : Irma Dewi Meilinda

0 Response to "Cerpen Memburu Waktu"

Posting Komentar