-->

Peran Anak Muda dalam Perkembangan Sastra


Berbeda dengan ILF (Indonesia Literacy Fest) Sesi ke-3 yang belajarnya penuh canda tawa karena pemateri-pematerinya humoris. Kelas ILF Sesi ke-4 (30/10/2021) di hari ketiga, seakan sedang memasuki kelas Sastra Indonesia di bangku perkuliahan. Serius dan penuh konsentrasi. Apalagi salah satu pematerinya adalah seorang Sastrawan Indonesia dan dosen UI yaitu Bapak Maman Mahayana. Tema yang diangkat pada ILF malam Minggu kemarin adalah Membangun Karakter Pemuda Indonesia Lewat Sastra.

Peran pemuda Indonesia sangat penting untuk membawa perubahan pada Indonesia agar lebih baik. Sebab, generasi muda adalah generasi yang akan melanjutkan tonggak perjalanan di masa depan. Dalam hal ini, pemuda Indonesia benar-benar diharapkan untuk bisa menciptakan tulisan-tulisan yang akan membuka pola pikir manusia lebih maju dengan mengangkat isu-isu yang nyata dalam sehari-hari.

Bicara soal sastra, sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta yaitu shaastra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman". Shaastra berasal dari kata dasar śās- atau shaas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau sarana.

Pada awal kelas dimulai, peserta menyimak pemaparan Nissa Rengganis yang merupakan penulis buku dan dosen Universitas Muhammadiyah Cirebon. Beliau menyarankan bahwa sastra harus hadir dengan wajah yang fresh agar asyik dinikmati oleh kaum muda. Karena menurutnya, kalau kita tidak melek sastra, besar kemungkinan akan buta sejarah. Dalam hal ini, kita harus meng-upgrade diri untuk melihat perkembangan sastra di Indonesia. Jangan sampai sastra Indonesia menjadi rusak oleh orang-orang yang sama sekali tidak peduli dengan bangsa ini.

Dalam kesempatan ini, Okky Madasari (Sastrawan, Esais, dan Kandidst PhD di National University of Singapore) mengatakan; dunia hari ini digerakkan oleh cerita, narasi, teks yang sengaja diproduksi, didistribusikan, untuk kemudian dikonsumsi masyarakat. Hal ini berkaitan dengan bahasa dan sastra di era industri konten. Mengapa demikian? Sebab saat ini kita hidup di era serba digital, di mana manusia lebih mudah mengakses informasi melalui internet. Itu sebabnya, sebelum menyebarkan informasi ke khalayak, pilihlah diksi yang tidak akan menjerumuskan generasi bangsa. Apalagi mirisnya, yang terjadi saat ini, banyak sekali kosakata yang mengandung makna negatif, bahkan tidak mendidik. Seperti kata "anjay", entah siapa pertama kali menciptakan kosakata tersebut. Sehingga banyak orang-orang yang menggunakan kata itu agar terlihat gaul, tidak ketinggalan zaman, tidak kudet, atau yang lainnya. Entah kosakata apa lagi yang akan muncul di tahun-tahun berikutnya, kita berharap—bisa melenyapkan apa pun yang tak ada manfaatnya bagi generasi bangsa ke depannya.

Kita tidak bisa memfilter apa yang akan orang lain lakukan, tapi kita bisa menutup cerita tak berbobot dengan konten-konten yang bermanfaat. Bukan hanya sekadar konten belaka, melainkan untuk pendidikan anak muda Indonesia yang berkarakter. Walaupun begitu, benar apa kata Mba Okky, bahwa kita harus beradaptasi dengan bentuk, tapi tetap kualitas yang akan dilihat. Karena trend dan mediun akan terus berganti, tapi kualitas cerita takkan terganti.

Menurut Okky Madasari, tantangan di era industri cerita, yaitu:
  1. Ketika semua orang bisa memproduksi cerita, cerita macam apa yang kita tawarkan?
  2. Persaingan yang ketat membutuhkan keunikan, kebaruan, kreativitas.
  3. Ketika cerita jadi industri, tanggung jawab dalam bercerita tetap menjadi prinsip kunci.
Pesan penting dari seorang Okky Madasari,
"Ketika cerita telah jadi industri, kewajiban kita untuk memproduksi cerita yang membisikkan suara hati nurani."

Pertemuan semakin menarik ketika sastrawan Indonesia yang juga merupakan dosen UI ketika menjelaskan tentang sastra lebih luas.

Menurutnya, karya sastra berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai. Karena dunia dalam karya sastra yang imajinatif dan fiksional itu hakikatnya merangsang imajinasi, mimpi, dan pandangan dunia. Dalam hal ini, peristiwa dalam karya sastra bersumber dari pengalaman individual (pengarang) yang ditawarkan kepada pembaca sebagai pengalaman bersama. Membangun karakter lewat karya sastra memang melalui proses panjang, mulai dari proses penanaman nilai-nilai, hingga membentuk habitus—perlu pembiasaan yang kontinu.

Pada intinya, sistem sastra terletak pada pengarang, penerbit, pembaca, kritikus, institusi sastra, dan negara. Itu artinya, semua harus terlibat dalam perkembangan sastra di Indonesia ini.

Terima kasih untuk para narasumber, materinya daging semua. Jadi semakin ingin menggali dunia sastra lebih dalam lagi.

Terima kasih juga untuk Kak Ihsan yang telah memandu acaranya dan seluruh KBM App yang telah bekerja keras demi menyukseskan acara ILF dan sudah menjadi wadah untuk kami belajar tentang literasi. Semoga sehat dan sukses selalu untuk Tim KBM App.

Yang ketinggalan menyimak materi pada sesi ke-4, bisa tonton videonya di bawah ini.


Untuk penulis yang ingin mengembangkan bakatnya, boleh nih download aplikasinya di playstore. Pun pembaca yang mencari bacaan keren, ada di KBM App, ya! Untuk remaja, upayakan memilih bacaan sesuai usia. Oh iya, jangan lupa follow akun saya di KBM App. Cari nama Irma Dewi Meilinda. Terima kasih!

Salam Sukses
Salam Literasi
Salam Pena Kreatif

Ayo mengguncang dunia dengan pena!

Lampung, 31 Oktober 2021
(Ketua KPKers Lampung, Writerpreneur, Blogger, etc)

0 Response to "Peran Anak Muda dalam Perkembangan Sastra"

Posting Komentar